Gastronasionalisme: Makanan sebagai Cerminan Identitas dan Instrumen Diplomasi Lintas Batas

Diedit oleh: Olga Samsonova

Konsep gastronasionalisme menempatkan makanan sebagai representasi otentik dari identitas suatu bangsa, sekaligus berfungsi sebagai instrumen diplomasi yang efektif dalam memperkuat rasa kepemilikan nasional. Makanan bertindak sebagai penanda budaya yang non-konfliktif, sebuah peran yang krusial bagi para imigran yang berupaya menavigasi lingkungan sosial baru mereka. Berbeda dengan bentuk nasionalisme yang cenderung antagonistik, ranah gastronomi menekankan pada aspek berbagi dan koneksi, sebuah prinsip yang terlihat dari perkembangan restoran-restoran internasional di pusat multikultural seperti Madrid.

Penggunaan kuliner dalam diplomasi, atau gastrodiplomasi, semakin menguat sebagai alat untuk membentuk persepsi global terhadap suatu negara. Diplomasi kuliner telah lama menjadi praktik; mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, pernah menyatakan bahwa penggunaan makanan dalam berdiplomasi adalah cara yang sudah lama digunakan. Salah satu contoh signifikan dalam penerapan gastrodiplomasi adalah inisiatif yang diluncurkan oleh Thailand. Pemerintah Thailand secara proaktif meluncurkan program promosi kuliner yang bertujuan memperkuat citra negara dan mendorong sektor pariwisata, yang terbukti berhasil dengan penggandaan jumlah restoran Thailand secara global dan peningkatan kedatangan wisatawan asing.

Program 'Kitchen of the World' yang diluncurkan oleh Thaksin Shinawatra dan kemudian didorong oleh adiknya, Yingluck Shinawatra, berfokus pada standardisasi produk makanan dan restoran di kancah internasional, yang juga mendorong ekspansi ekspor bahan mentah dan produk makanan Thailand. Pergeseran strategis dalam diplomasi juga terlihat dari Portugal, yang secara sadar mengubah menu diplomatik resmi mereka beberapa dekade lalu, beralih dari dominasi masakan Prancis menuju penonjolan hidangan lokal khas mereka. Langkah ini menggarisbawahi pengakuan bahwa warisan kuliner domestik memiliki daya tarik tersendiri dalam arena internasional.

Meskipun makanan secara inheren menolak homogenisasi total, terdapat upaya dari kelompok sayap kanan untuk memolitisasi kebiasaan kuliner tertentu guna menciptakan perpecahan sosial. Secara fundamental, makanan memiliki kemampuan unik untuk memfasilitasi dialog dan membangun kedekatan, meredam perbedaan dalam berbagai pengaturan, mulai dari pertemuan keluarga informal hingga jamuan kenegaraan resmi. Diplomasi publik melalui kuliner, sebagai bagian dari diplomasi publik yang lebih luas, bertujuan meningkatkan soft power suatu negara—kemampuan untuk memengaruhi pihak lain melalui daya tarik daripada paksaan.

Pengelolaan potensi kuliner yang terstruktur dapat memberikan kontribusi substansial pada berbagai sektor negara, termasuk ekonomi, melalui peningkatan ekspor dan penyerapan tenaga kerja. Sebagai ilustrasi, sektor pariwisata Thailand pada tahun 2017 menyumbang 21,9% dari PDB negara tersebut, dengan penyerapan 5.739.000 pekerja pada tahun 2016, sebagian didukung oleh promosi pariwisata yang gencar. Dengan demikian, gastrodiplomasi adalah strategi holistik yang membutuhkan dukungan negara untuk mengukuhkan kolaborasi antarnegara di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan, sekaligus membangun citra merek bangsa yang positif di mata dunia.

Sumber-sumber

  • EL PAÍS

  • EL PAÍS

  • El Diario de Madrid

  • Agencia Estatal de Investigación

  • ResearchGate

  • IGCAT

Apakah Anda menemukan kesalahan atau ketidakakuratan?

Kami akan mempertimbangkan komentar Anda sesegera mungkin.