Referendum Konstitusional Guinea: Junta Militer Perpanjang Masa Jabatan Presiden di Tengah Pembatasan Politik

Diedit oleh: Tatyana Hurynovich

Pada 21 September 2025, Guinea menjadi sorotan global dengan penyelenggaraan referendum konstitusional yang krusial. Referendum ini diawasi oleh junta militer yang berkuasa di bawah Jenderal Mamady Doumbouya, dengan tujuan mengesahkan perubahan konstitusi, termasuk perpanjangan masa jabatan presiden dan kemungkinan personel militer untuk mencalonkan diri dalam pemilihan.

Konstitusi baru yang diajukan mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden dari lima menjadi tujuh tahun, dengan satu kali perpanjangan. Rancangan ini juga memungkinkan anggota militer untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum, sebuah langkah yang dikritik sebagai upaya untuk melegitimasi kekuasaan junta. Perubahan ini terjadi setelah junta militer melewatkan tenggat waktu akhir tahun 2024 untuk mengembalikan negara ke pemerintahan sipil, janji yang dibuat setelah kudeta pada 5 September 2021.

Menjelang referendum, dua partai oposisi utama, Union of Democratic Forces of Guinea (UFDG) dan Rassemblement du Peuple de Guinée (RPG), beserta puluhan partai kecil lainnya, ditangguhkan oleh junta. Penangguhan ini, yang melarang aktivitas politik dan membekukan rekening bank, menimbulkan kekhawatiran tentang inklusivitas dan transparansi proses referendum. Para pengamat internasional dan kelompok masyarakat sipil menyuarakan keprihatinan bahwa referendum ini lebih merupakan manuver politik untuk memperpanjang kekuasaan militer daripada langkah menuju demokrasi.

Survei Afrobarometer yang dilakukan pada pertengahan 2024 menunjukkan bahwa mayoritas warga Guinea (67%) merasa negara bergerak ke arah yang salah, dan 64% menentang campur tangan militer dalam pemerintahan. Mayoritas juga menyatakan preferensi terhadap demokrasi dan pembatasan masa jabatan presiden. Data ini mencerminkan keinginan kuat rakyat Guinea untuk stabilitas dan pemerintahan yang representatif.

Sejarah Guinea diwarnai oleh pemerintahan otoriter dan kudeta militer, yang menghambat pencapaian stabilitas demokrasi. Dalam konteks regional Afrika Barat yang juga menyaksikan peningkatan kudeta, nasib Guinea dalam referendum ini menjadi cerminan penting bagi arah demokrasi di kawasan tersebut. Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) telah mengerahkan misi pengamat untuk memantau proses ini, menekankan komitmennya terhadap tata kelola pemerintahan yang demokratis dan stabil. Meskipun junta menyatakan reformasi ini diperlukan untuk pembangunan dan stabilitas nasional, banyak pihak melihatnya sebagai upaya untuk mengukuhkan cengkeraman kekuasaan. Referendum ini menjadi titik krusial yang akan menentukan apakah Guinea akan bergerak menuju pemulihan tatanan konstitusional yang sesungguhnya atau justru melegitimasi bentuk baru dari kekuasaan militer.

Sumber-sumber

  • Deutsche Welle

  • Africa Center for Strategic Studies

  • West African Voice Network

  • Boston 25 News

Apakah Anda menemukan kesalahan atau ketidakakuratan?

Kami akan mempertimbangkan komentar Anda sesegera mungkin.