Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 19 September 2025, memberikan suara untuk memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran. Keputusan ini merupakan respons terhadap meningkatnya kekhawatiran mengenai kemajuan program nuklir Iran dan dugaan pelanggaran komitmen di bawah Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) 2015. Trio Eropa—Prancis, Jerman, dan Inggris—menuduh Iran mengakumulasi uranium yang diperkaya secara signifikan melebihi batas yang diizinkan dan memperluas infrastruktur pengayaan nuklir. Iran, melalui Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, membantah tuduhan tersebut, menyebutnya sebagai bias politik dan menegaskan komitmennya terhadap program nuklir yang damai serta Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Iran juga menyatakan telah mengajukan proposal yang "masuk akal dan dapat ditindaklanjuti" untuk menghindari krisis.
Resolusi yang diusulkan oleh Korea Selatan, yang menjabat sebagai presiden Dewan saat itu, membutuhkan setidaknya sembilan suara untuk menentang pemberlakuan kembali sanksi agar bantuan sanksi tetap berlanjut. Hasil pemungutan suara menunjukkan sembilan anggota menentang pencabutan sanksi, empat mendukung, dan dua abstain. Akibatnya, resolusi sanksi PBB sebelumnya secara otomatis diberlakukan kembali, yang mencakup larangan pengayaan uranium Iran, embargo senjata, pembekuan aset, serta pembatasan keuangan dan pengiriman.
Keputusan ini terjadi di tengah ketegangan regional yang meningkat, terutama dengan Israel. Serangan udara Israel terhadap fasilitas nuklir Iran pada Juni 2025, termasuk di Natanz dan Esfahan, semakin memperumit situasi. Amerika Serikat juga melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni 2025 dalam operasi yang dikenal sebagai "Operation Midnight Hammer". Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang dipimpin oleh Rafael Mariano Grossi, terus memantau situasi dan melaporkan kerusakan pada fasilitas-fasilitas tersebut, sambil menekankan perlunya dialog.
Sejarah sanksi terhadap Iran dimulai sejak tahun 1979, dengan sanksi PBB pertama kali diberlakukan pada tahun 2006. Amerika Serikat juga telah menerapkan sanksi yang komprehensif, menargetkan sektor minyak dan gas, serta program nuklir Iran. Meskipun JCPOA pada tahun 2015 memberikan keringanan sanksi, penarikan AS dari perjanjian tersebut pada tahun 2018 menyebabkan pemberlakuan kembali sanksi. Para analis memperingatkan bahwa pemberlakuan kembali sanksi ini dapat semakin memperburuk ketegangan di Timur Tengah dan melemahkan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir. Iran telah mengancam akan membalas, termasuk kemungkinan keluar dari NPT, jika diplomasi gagal.