Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengadakan pertemuan dengan pejabat keamanan senior untuk mengevaluasi opsi strategis dalam konflik yang telah berlangsung selama 22 bulan di Gaza. Laporan menunjukkan bahwa Netanyahu cenderung mendukung pengambilalihan militer penuh atas wilayah tersebut. Langkah ini muncul setelah kegagalan negosiasi gencatan senjata dengan Hamas dan meningkatnya tekanan internasional untuk menghentikan permusuhan akibat kondisi kemanusiaan yang memburuk di Gaza.
Selama pertemuan tersebut, Kepala Staf Militer Israel, Letnan Jenderal Eyal Zamir, menyajikan berbagai opsi operasional. Beberapa menteri kunci juga hadir dalam diskusi tersebut. Pengambilalihan penuh akan membalikkan keputusan Israel pada tahun 2005 untuk menarik pemukim dan pasukan militernya dari Gaza, yang oleh beberapa politisi kanan dianggap sebagai faktor yang memungkinkan Hamas naik ke tampuk kekuasaan. Namun, masih belum jelas apakah Netanyahu membayangkan pendudukan sementara atau kontrol jangka panjang atas wilayah tersebut. Netanyahu menegaskan kembali tujuan untuk mengalahkan Hamas, membebaskan sandera, dan memastikan bahwa Gaza tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel.
Di sisi lain, beberapa mantan pejabat tinggi militer dan intelijen Israel, termasuk mantan Kepala Staf IDF dan mantan Perdana Menteri Ehud Barak, telah mendesak Israel untuk menghentikan kampanye militernya di Gaza. Mereka mengkritik sikap ekstremis pemerintah Israel dan memperingatkan terhadap perpanjangan permusuhan. Sementara itu, organisasi internasional seperti WHO dan FAO telah menyoroti peningkatan kelaparan di Gaza karena blokade dan pertempuran yang sedang berlangsung. Situasi kemanusiaan sangat kritis, dengan kekurangan makanan, air, dan obat-obatan, yang sangat mempengaruhi penduduk sipil, terutama anak-anak dan orang tua.
Beberapa negara Barat, termasuk Prancis, Inggris, dan Kanada, telah menyatakan niat mereka untuk mengakui Palestina sebagai negara. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan rencana untuk mengakui Palestina di Majelis Umum PBB pada September 2025. Hal ini berbeda dengan sikap Jerman, yang saat ini tidak berencana untuk mengakui Palestina dan memandangnya sebagai hasil dari proses negosiasi. Komunitas internasional memantau perkembangan di Timur Tengah dengan cermat. Aksi militer yang sedang berlangsung, krisis kemanusiaan, dan ketegangan diplomatik membutuhkan respons yang terkoordinasi dan tegas untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan menemukan solusi jangka panjang untuk konflik tersebut.
Menurut laporan PBB pada Juli 2025, lebih dari 80% populasi Gaza bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. Selain itu, tingkat pengangguran di Gaza telah mencapai rekor tertinggi 49% karena konflik dan pembatasan ekonomi. Data ini menggarisbawahi urgensi untuk mengatasi krisis kemanusiaan dan mencari solusi politik yang memungkinkan stabilitas dan pembangunan di wilayah tersebut. Lebih dari 2 juta orang di Gaza menghadapi krisis pangan, dengan banyak keluarga yang hanya makan sekali sehari.