Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengesahkan sebuah resolusi non-binding yang signifikan, yang mengakui Negara Palestina dan menegaskan kembali komitmen internasional terhadap solusi dua negara untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.
Resolusi tersebut, yang diajukan oleh Prancis dan Arab Saudi, mendapat dukungan mayoritas besar negara anggota. Dokumen ini mengutuk serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, serta tindakan Israel di Gaza, termasuk blokade dan krisis kemanusiaan yang diakibatkannya. Resolusi ini juga menyerukan Otoritas Palestina (PA) untuk memerintah seluruh wilayah Palestina, dengan pembentukan komite transisi administratif segera setelah gencatan senjata di Gaza tercapai.
Dalam pemungutan suara yang diadakan di Markas Besar PBB di New York, 142 negara anggota memberikan suara mendukung resolusi tersebut, sementara 10 negara menentang dan 12 negara abstain. Negara-negara yang menolak resolusi ini termasuk Israel, Amerika Serikat, Argentina, Hungaria, Mikronesia, Nauru, Palau, Papua Nugini, Paraguay, dan Tonga. Penolakan ini mencerminkan perbedaan pandangan yang mendalam mengenai jalan menuju perdamaian di kawasan tersebut.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan penolakannya terhadap negara Palestina, dengan menyatakan, "Tempat ini milik kami." Amerika Serikat, melalui Morgan Ortagus, menyebut resolusi itu sebagai "aksi publisitas yang salah arah dan tidak tepat waktu yang merusak upaya diplomatik serius untuk mengakhiri konflik."
Di sisi lain, otoritas Palestina menyambut baik hasil pemungutan suara tersebut. Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, menyatakan bahwa dukungan mayoritas menunjukkan keinginan komunitas internasional untuk membuka pintu perdamaian. Wakil Presiden Palestina Hussein al-Sheikh menyebut resolusi ini sebagai tonggak bersejarah yang menegaskan kesediaan internasional untuk mendukung hak-hak rakyat Palestina dan merupakan langkah penting untuk mengakhiri pendudukan.
Secara historis, lebih dari 145 negara telah mengakui Negara Palestina. Situasi kemanusiaan di Gaza tetap menjadi perhatian utama, dengan badan-badan PBB seperti UNRWA memperingatkan tentang kondisi ekstrem yang dihadapi warga sipil. Sejak Oktober 2023, lebih dari 64.000 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan Israel.
Hamas, yang didirikan pada tahun 1987, memiliki peran kompleks dalam konflik ini, dengan tujuan membebaskan Palestina dari pendudukan Israel. Namun, banyak negara mengklasifikasikan Hamas sebagai organisasi teroris karena sejarah serangan terhadap warga sipil Israel. Resolusi PBB ini, meskipun tidak mengikat, mencerminkan konsensus internasional yang luas mengenai perlunya solusi dua negara dan keprihatinan mendalam terhadap penderitaan manusia di Gaza.
Tantangan untuk mencapai perdamaian yang langgeng tetap signifikan, mengingat perbedaan pandangan yang kuat dari para aktor kunci dalam konflik ini.