Pada tanggal 1 Juli 2025, Parlemen Inggris menyetujui undang-undang reformasi kesejahteraan yang diajukan oleh Perdana Menteri Sir Keir Starmer. House of Commons memberikan suara 335 berbanding 260 untuk mendukung RUU tersebut, yang bertujuan untuk mengurangi pengeluaran kesejahteraan.
Namun, kemenangan ini ternoda oleh perbedaan pendapat internal yang signifikan dalam Partai Buruh. Empat puluh sembilan anggota memberontak terhadap reformasi tersebut, menandai perbedaan pendapat parlemen terbesar selama masa jabatan Starmer. Reformasi yang diusulkan bertujuan untuk memperketat persyaratan kelayakan untuk tunjangan disabilitas.
Menanggapi oposisi, pemerintah membuat konsesi, termasuk menerapkan persyaratan baru hanya untuk pemohon di masa mendatang dan menunda pelaksanaannya. Terlepas dari penyesuaian ini, perkiraan penghematan berkurang. Pemberontakan internal partai menimbulkan pertanyaan tentang kepemimpinan Starmer dan kemampuan pemerintah untuk melaksanakan agendanya.
Peristiwa ini mengingatkan kita pada tantangan yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk di Asia Tenggara, dalam menyeimbangkan kebutuhan fiskal dengan tanggung jawab sosial. Di Indonesia, misalnya, isu-isu seperti penyediaan layanan kesehatan dan dukungan bagi penyandang disabilitas juga menjadi perhatian utama. Diskusi mengenai reformasi kesejahteraan di Inggris dapat memberikan wawasan berharga bagi para pembuat kebijakan di Indonesia, terutama dalam hal bagaimana menyeimbangkan efisiensi dengan keadilan sosial, serta memastikan bahwa kebijakan tersebut selaras dengan nilai-nilai Pancasila.