Uganda telah mengonfirmasi kesepakatan kontroversial dengan Amerika Serikat untuk menampung sementara para migran yang dideportasi dari negara ketiga. Keputusan ini muncul setelah penolakan awal dari pejabat Uganda mengenai kapasitas negara tersebut untuk menampung para migran, dengan alasan kurangnya infrastruktur.
Kesepakatan tersebut, yang merupakan bagian dari kebijakan imigrasi yang lebih luas di bawah pemerintahan Presiden Trump, memungkinkan Washington untuk memindahkan pencari suaka yang ditolak yang tidak bersedia kembali ke negara asal mereka ke Uganda. Namun, Kampala telah menetapkan syarat yang jelas: kesepakatan ini tidak mencakup anak di bawah umur yang tidak didampingi atau individu dengan catatan kriminal. Uganda juga menyatakan preferensi untuk menerima migran yang berasal dari negara-negara Afrika.
Perjanjian ini menempatkan Uganda di antara segelintir negara Afrika yang bekerja sama dengan strategi deportasi AS yang kontroversial. Hal ini terjadi di tengah kekhawatiran yang meluas dari kelompok hak asasi manusia mengenai potensi pengiriman migran ke negara-negara di mana mereka mungkin menghadapi bahaya. Laporan dari Departemen Luar Negeri AS menyoroti catatan pelanggaran hak asasi manusia di Uganda, termasuk undang-undang anti-LGBTIQ yang ketat, penindasan politik, eksekusi ilegal, dan pekerja anak.
Di sisi lain, Uganda sudah menjadi tuan rumah bagi hampir 2 juta pengungsi, sebagian besar dari negara-negara tetangga seperti Republik Demokratik Kongo, Sudan Selatan, dan Sudan, menjadikannya negara penerima pengungsi terbesar di Afrika dan ketiga terbesar di dunia. Situasi ini diperparah oleh peringatan dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR) bahwa dana darurat untuk pengungsi di Uganda akan habis pada September 2025. Kekurangan dana ini dapat berdampak buruk pada program bantuan, yang menyebabkan peningkatan kekurangan gizi pada anak-anak, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, dan keluarga tanpa tempat tinggal.
Kesepakatan ini, meskipun bersifat sementara, menimbulkan pertanyaan penting tentang kapasitas Uganda untuk mengelola populasi pengungsi yang sudah ada dan migran yang dideportasi. Sementara AS mencari solusi untuk tantangan imigrasinya, langkah ini menggarisbawahi kompleksitas global migrasi dan kebutuhan akan pendekatan yang hati-hati dan etis dalam menangani perpindahan manusia. Ke depan, detail pelaksanaan kesepakatan ini akan menjadi kunci untuk memahami dampaknya terhadap hak dan kesejahteraan para migran yang terlibat, serta terhadap sumber daya Uganda yang sudah menipis.