Parlemen Burkina Faso secara bulat mengesahkan undang-undang baru yang mengkriminalisasi tindakan homoseksual, dengan ancaman hukuman penjara antara dua hingga lima tahun dan denda.
Langkah ini menandai perubahan signifikan dalam lanskap hukum negara Afrika Barat tersebut, yang sebelumnya tidak memiliki undang-undang spesifik yang menargetkan homoseksualitas. Menteri Kehakiman Edasso Rodrigue Bayala menggambarkan tindakan sesama jenis sebagai "perilaku aneh" dan menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai pernikahan dan keluarga tradisional. Hukum ini berlaku segera setelah disahkan, mencerminkan konsensus domestik yang kuat mengenai isu tersebut.
Keputusan ini menempatkan Burkina Faso dalam barisan negara-negara Afrika yang telah menerapkan atau memperkuat undang-undang anti-LGBTQ+. Langkah ini sejalan dengan tren regional yang lebih luas, di mana negara-negara tetangga seperti Mali, yang juga diperintah oleh junta militer, telah mengadopsi undang-undang serupa pada November 2024. Selain itu, negara-negara seperti Uganda dan Ghana juga telah memperketat undang-undang anti-homoseksualitas mereka dalam beberapa tahun terakhir.
Undang-undang baru ini diberlakukan di bawah rezim militer yang mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada tahun 2022. Pemimpin junta, Kapten Ibrahim Traoré, telah memposisikan dirinya sebagai advokat kemerdekaan pan-Afrika dari pengaruh Barat. Meskipun undang-undang ini dibingkai sebagai pembelaan terhadap nilai-nilai budaya dan penolakan terhadap pengaruh asing, organisasi hak asasi manusia internasional telah menyuarakan keprihatinan mendalam mengenai implikasinya terhadap hak-hak individu LGBTQ+.
Secara historis, Burkina Faso tidak pernah mengkriminalisasi aktivitas seksual sesama jenis sebelum tahun 2025, bahkan menetapkan usia yang sama untuk persetujuan pada tahun 1996. Namun, perubahan legislatif ini mencerminkan pergeseran pandangan yang lebih luas di beberapa bagian Afrika, di mana isu-isu yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender sering kali menjadi titik perdebatan antara nilai-nilai tradisional dan standar hak asasi manusia internasional.