Pada 7 September 2025, Menteri Luar Negeri Iran, Seyyed Abbas Araghchi, dalam sebuah opini yang diterbitkan di The Guardian, menyatakan kesiapan Teheran untuk bernegosiasi mengenai kesepakatan nuklir baru dengan kekuatan Eropa—Prancis, Inggris, dan Jerman (E3). Tawaran ini mencakup pembatasan pengayaan uranium dan pengawasan ketat sebagai imbalan atas pencabutan sanksi internasional yang diberlakukan kembali setelah Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015.
Langkah Iran ini muncul di tengah ketegangan yang meningkat setelah negara-negara Eropa (E3) mengaktifkan mekanisme "snapback" untuk memberlakukan kembali sanksi PBB. E3 menuduh Iran melanggar komitmennya, termasuk melampaui batas stok uranium yang diperkaya dan membatasi akses inspektur Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Araghchi menolak tindakan E3 ini, menyebutnya "tanpa dasar hukum dan merusak secara politik," serta mengkritik Eropa karena dianggap "membabi buta mengikuti strategi Washington" dan gagal memenuhi kewajibannya pasca penarikan AS dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2018.
Dalam lanskap diplomatik yang kompleks ini, Tiongkok dan Rusia menyatakan penolakan mereka terhadap mekanisme "snapback" yang diprakarsai Eropa, menyebutnya cacat secara hukum dan kontraproduktif. Kedua negara tersebut telah mengusulkan resolusi untuk memperpanjang JCPOA dan Resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB, menunjukkan upaya untuk menjaga stabilitas dan mencari solusi diplomatik.
Di sisi lain, Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, mendesak Iran untuk segera mencapai kesepakatan mengenai dimulainya kembali inspeksi nuklir. Grossi menekankan bahwa negosiasi tidak dapat berlanjut tanpa batas waktu, mengingat adanya ketidakpastian mengenai stok uranium yang diperkaya Iran, yang jika terus diperkaya lebih lanjut, dapat digunakan untuk senjata nuklir. Kurangnya transparansi dan verifikasi dari IAEA menimbulkan kekhawatiran serius mengenai proliferasi nuklir. Perkembangan ini terjadi di tengah laporan bahwa Iran terus memajukan program nuklirnya, termasuk memproduksi uranium yang diperkaya hingga kemurnian 60%, yang dinilai melampaui tujuan sipil yang masuk akal.
Situasi ini menyoroti persimpangan jalan yang krusial dalam upaya global untuk mengendalikan program nuklir Iran. Sementara Teheran menyuarakan kesiapan untuk dialog dan kesepakatan yang mencakup pengawasan ketat, tindakan Eropa dan sikap negara-negara lain menciptakan ketidakpastian. Jalan ke depan menuntut pemahaman mendalam tentang motivasi dan kepentingan semua pihak, serta kemauan untuk mencari solusi yang konstruktif demi stabilitas regional dan perdamaian dunia.