Jepang saat ini tengah dilanda gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan Tokyo mencatat rekor 10 hari berturut-turut dengan suhu di atas 35°C. Ini merupakan periode terpanas terpanjang sejak pencatatan dimulai pada tahun 1875, melampaui rekor sebelumnya pada tahun 2022. Gelombang panas ini terjadi setelah Jepang mengalami bulan Juni dan Juli terpanas dalam sejarah pencatatan.
Dampak langsung dari suhu ekstrem ini sangat terasa pada sektor kesehatan. Hingga kini, lebih dari 53.000 orang di seluruh negeri telah dirawat di rumah sakit akibat penyakit terkait panas, seperti sengatan panas (heatstroke). Mayoritas korban adalah lansia, yang merupakan kelompok paling rentan terhadap kondisi cuaca ekstrem ini. Otoritas kesehatan terus mengimbau masyarakat untuk mengambil tindakan pencegahan, termasuk tetap berada di dalam ruangan ber-AC, menjaga hidrasi, dan menghindari aktivitas fisik di luar ruangan.
Secara meteorologis, Badan Meteorologi Jepang (JMA) mengaitkan gelombang panas yang persisten ini dengan sistem tekanan tinggi yang kuat yang diperparah oleh perubahan iklim global. Sistem ini menghalangi pembentukan awan hujan dan mendorong angin panas ke wilayah Jepang.
Di sektor pertanian, gelombang panas ini menimbulkan ancaman serius. Wilayah pertanian padi utama seperti Tohoku dan Hokuriku mengalami curah hujan terendah dalam hampir 80 tahun terakhir. Kombinasi curah hujan rendah dan suhu tinggi mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Selain itu, kekeringan dan suhu panas memicu ledakan populasi hama wereng, yang semakin membahayakan hasil panen. Para ahli memperkirakan produksi padi tahun ini akan menurun, yang dapat menyebabkan kelangkaan beras dan kenaikan harga yang signifikan. Kenaikan harga beras sudah terlihat, dilaporkan melonjak sekitar 50% dibandingkan tahun lalu.
Dampak perubahan iklim juga meluas ke sektor perikanan. Kenaikan suhu permukaan laut di perairan Jepang, yang lebih cepat dibandingkan rata-rata global, telah menyebabkan penurunan hasil tangkapan berbagai jenis ikan dan makanan laut. Spesies air dingin seperti salmon, cumi-cumi, dan sauri mengalami penurunan volume tangkapan yang tajam selama 20 tahun terakhir, sementara harganya melonjak hampir lima kali lipat. Hal ini berkontribusi pada kenaikan harga pangan secara keseluruhan di Jepang, yang kini mencapai hampir 30% dari pengeluaran rumah tangga, angka tertinggi dalam 43 tahun terakhir.
Pemerintah Jepang telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi krisis ini, termasuk memberikan subsidi untuk pemasangan pompa irigasi dan menyediakan peralatan untuk mengatasi kekeringan. Namun, para ahli menekankan perlunya strategi adaptasi jangka panjang untuk menghadapi cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim global.