Petani jagung di Amerika Serikat menghadapi tantangan iklim yang semakin nyata, meskipun proyeksi panen tahun 2025 diperkirakan akan mencapai rekor. Fenomena alam yang tidak biasa, yang dikenal sebagai 'tight tassel wrap', mulai dilaporkan meluas di berbagai wilayah penghasil jagung utama, menimbulkan kekhawatiran akan potensi penurunan hasil panen.
Fenomena 'tight tassel wrap' terjadi ketika daun teratas tanaman jagung gagal mengembang sepenuhnya, menjebak malai (tassel) dan menghambat pelepasan serbuk sari yang optimal. Kondisi ini, yang diperparah oleh suhu tinggi di atas 30°C, dapat menyebabkan sutra bunga (silk) tidak terserbuki dengan baik, menghasilkan tongkol jagung yang tidak berkembang sempurna dan mengurangi jumlah biji. Para ahli agronomi dari Universitas Negeri Kansas mencatat bahwa fenomena ini dapat menghambat pelepasan serbuk sari, bahkan ketika malai berhasil keluar dari daun pembungkusnya. Menurut para pakar, seperti Mark Licht dari Iowa State University, 'tight tassel wrap' kemungkinan merupakan bentuk sindrom pertumbuhan cepat (rapid growth syndrome) yang dipicu oleh kombinasi suhu tinggi, kelembaban yang cukup, dan ketersediaan nutrisi yang melimpah. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan vegetatif yang sangat cepat di akhir fase vegetatif, yang mengganggu sinkronisasi alami antara pelepasan serbuk sari dan penerimaan sutra bunga. Fenomena ini dianggap tidak umum, dengan beberapa ahli menyebutkan terakhir kali terjadi masalah penyerbukan serupa adalah satu hingga satu setengah dekade lalu.
Laporan terbaru dari Departemen Pertanian AS (USDA) memproyeksikan panen jagung rekor pada tahun 2025, mencapai sekitar 16,7 miliar gantang. Namun, di tengah optimisme angka produksi tersebut, tantangan yang dihadapi petani menjadi sorotan. Di Illinois, misalnya, laporan dari agronomis Wyffels Hybrids menyebutkan bahwa 10-40% dari tanaman jagung terdampak 'tassel wrap', dengan potensi kehilangan biji mencapai 10-60% di area yang parah. Di Iowa, beberapa wilayah melaporkan 20-80% tanaman terpengaruh, dengan hingga 30% bakal biji tidak terserbuki.
Menghadapi kondisi ini, para petani mulai mengadopsi strategi adaptasi. Salah satunya adalah penggunaan varietas jagung yang lebih pendek, yang dirancang untuk lebih tahan terhadap angin kencang dan membutuhkan lebih sedikit air. Selain itu, pemantauan lapangan yang cermat untuk menilai tingkat keberhasilan penyerbukan menjadi kunci untuk membuat keputusan input pertanian yang tepat, seperti aplikasi fungisida. Peristiwa ini menggarisbawahi pentingnya ketahanan dalam sistem pertanian. Dengan memahami pola cuaca yang berubah dan mengimplementasikan praktik adaptif, komunitas pertanian dapat terus menavigasi tantangan iklim. Kemampuan untuk berinovasi dan menyesuaikan diri, seperti yang ditunjukkan oleh para petani, merupakan cerminan dari kekuatan kolektif dalam menghadapi perubahan, memastikan kelangsungan pasokan pangan di tengah dinamika lingkungan yang terus berkembang.