GAZA - Ketegangan di wilayah Gaza meningkat tajam pada 10 Agustus 2025, setelah dilaporkan dua proyektil diluncurkan dari Gaza ke Israel. Insiden ini memicu sirene serangan udara di komunitas-komunitas dekat perbatasan Gaza, menimbulkan kekhawatiran akan eskalasi konflik. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyatakan upaya pencegatan telah dilakukan, namun hasilnya masih dalam peninjauan. Hingga berita ini diturunkan, belum ada laporan mengenai korban jiwa atau kerusakan akibat insiden tersebut.
Peristiwa ini terjadi di tengah pengumuman Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengenai rencana serangan militer besar-besaran terhadap basis Hamas di Kota Gaza. Tujuan utama operasi yang direncanakan adalah untuk membebaskan para sandera yang ditahan oleh Hamas. Netanyahu menegaskan perlunya untuk "menyelesaikan pekerjaan" dan mengalahkan Hamas, menekankan bahwa serangan tersebut akan dimulai "cukup cepat". Ia juga mengindikasikan adanya rencana untuk menciptakan "zona aman" bagi warga sipil, meskipun catatan sejarah menunjukkan zona tersebut belum sepenuhnya memberikan perlindungan di masa lalu. Rencana ofensif ini telah menuai kritik baik di dalam maupun luar negeri, dengan banyak pihak menyuarakan keprihatinan atas potensi peningkatan krisis kemanusiaan dan risiko terhadap keselamatan para sandera yang tersisa.
Secara historis, wilayah Gaza telah menjadi pusat ketegangan dalam konflik Israel-Palestina sejak tahun 1948. Israel menduduki Jalur Gaza pada Perang Enam Hari tahun 1967 dan menarik diri secara sepihak pada tahun 2005. Sejak Hamas mengambil alih kendali pada tahun 2007, blokade diberlakukan oleh Israel dan Mesir, yang semakin memperburuk kondisi di wilayah padat penduduk ini. Konflik besar terakhir antara Israel dan Hamas terjadi pada akhir 2008, diikuti oleh serangkaian bentrokan dan operasi militer lainnya. Data menunjukkan bahwa sejak 7 Oktober 2023 hingga 10 Agustus 2025, lebih dari 61.000 warga Palestina telah tewas dan lebih dari 153.000 terluka akibat serangan Israel di Gaza. Insiden peluncuran proyektil pada 10 Agustus 2025 ini, meskipun dampaknya belum diketahui sepenuhnya, menggarisbawahi sifat wilayah yang mudah bergejolak. Peristiwa ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan regional, di mana negara-negara Timur Tengah sedang menata ulang strategi mereka dan menjajaki kemitraan baru di tengah pergeseran tatanan global. Ketidakstabilan yang berkelanjutan di Gaza berpotensi memperburuk kekosongan kekuasaan dan mengancam keamanan regional, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pasar energi global dan rantai pasokan. Keputusan Israel untuk melanjutkan ofensif militer yang lebih luas ini juga telah memicu protes di dalam negeri, dengan sebagian besar warga Israel mendukung diakhirinya perang demi pembebasan para sandera. Situasi ini menyoroti kompleksitas tantangan yang dihadapi para pemimpin di kawasan ini dalam menavigasi konflik yang telah berlangsung lama, sambil berusaha untuk mencapai stabilitas dan keamanan bagi semua pihak yang terlibat.