Pada 15 Agustus 2025, Hezbollah secara tegas menolak rencana perlucutan senjata yang baru saja disetujui oleh pemerintah Lebanon. Rencana ini, yang mewajibkan kelompok tersebut untuk menyerahkan senjatanya pada akhir tahun, dipandang oleh Hezbollah sebagai langkah yang melayani kepentingan Israel dan secara fundamental melemahkan pertahanan Lebanon.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Wakil Sekretaris Jenderal Sheikh Naim Qassem menyatakan bahwa perlucutan senjata akan memfasilitasi serangan Israel dan pengungsian warga Lebanon, serta menyerukan pemerintah untuk menentang pendudukan Israel. Ia menekankan bahwa Hezbollah hanya akan bernegosiasi mengenai strategi pertahanan nasional setelah Israel menghentikan serangan udara dan menarik pasukannya sepenuhnya dari wilayah Lebanon. Ancaman potensi protes terhadap kedutaan AS juga dilontarkan, menunjukkan kesiapan Hezbollah untuk meningkatkan retorika dan tindakan.
Penolakan ini terjadi di tengah pertemuan antara Presiden Lebanon Joseph Aoun dan pejabat Iran Ali Larijani di Beirut. Presiden Aoun menegaskan kembali posisi Lebanon yang menentang campur tangan asing dan menekankan kedaulatan nasional. Sementara itu, Larijani menuduh Amerika Serikat memaksakan rencana tersebut pada pemerintah Lebanon, menyatakan bahwa setiap langkah perlucutan senjata harus berasal dari dialog internal Lebanon dan berjanji akan dukungan Iran terhadap Lebanon dalam menghadapi ancaman Israel.
Larijani, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, melakukan kunjungan ke Beirut di tengah meningkatnya tekanan internasional terhadap kelompok-kelompok bersenjata regional untuk melucuti senjata. Tekanan ini semakin intensif setelah melemahnya kekuatan militer Hezbollah dan Hamas oleh Israel dalam konflik yang sedang berlangsung di Gaza yang dimulai pada Oktober 2023. Iran, yang merupakan pendukung utama Hezbollah, telah mengalami serangkaian kemunduran, termasuk serangan terhadap situs nuklirnya oleh Amerika Serikat dalam perang baru-baru ini dengan Israel.
Hezbollah, yang didirikan pada awal 1980-an dengan dukungan Iran, telah berkembang menjadi organisasi politik dan militer yang kuat, memainkan peran penting dalam politik Lebanon dan konflik regional. Kekuatan militernya, yang diperkuat oleh persenjataan canggih dan pengalaman tempur, menjadikannya kekuatan yang tangguh di kawasan tersebut. Namun, keberadaan persenjataan Hezbollah telah menjadi titik perpecahan utama di Lebanon, dengan beberapa kelompok yang menentangnya berpendapat bahwa hanya negara yang seharusnya memiliki senjata.
Perang 14 bulan dengan Israel sebelumnya telah menyebabkan ribuan korban jiwa, lebih dari satu juta orang terlantar, dan kerusakan senilai $11 miliar, menyoroti dampak konflik yang meluas di wilayah tersebut. Situasi ini menggarisbawahi tantangan dalam mencapai stabilitas internal dan konsensus nasional ketika aktor non-negara yang kuat memiliki pengaruh militer dan politik yang signifikan, yang diperumit oleh persaingan regional dan keterlibatan internasional.