Dalam sebuah langkah diplomatik yang tidak biasa, administrasi Trump mendeportasi 120 warga negara Iran pada Senin malam, 29 September 2025, dari Louisiana. Tindakan ini merupakan bagian dari kesepakatan bilateral yang jarang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran, menandai fase awal dari rencana yang lebih luas untuk memulangkan sekitar 400 warga Iran. Kelompok pertama ini diperkirakan tiba di Iran melalui Qatar pada Selasa, 30 September 2025.
Kesepakatan ini dicapai setelah perundingan yang berlangsung selama berbulan-bulan, menyoroti kompleksitas hubungan internasional dan tantangan dalam mengelola imigrasi di tengah ketegangan geopolitik. Meskipun Amerika Serikat dan Iran memiliki sejarah hubungan yang tegang, kesepakatan deportasi ini menunjukkan adanya ruang untuk kerja sama pragmatis ketika kepentingan bersama, seperti penanganan migrasi tidak beraturan, dapat diidentifikasi. Iran menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak migran Iran sesuai dengan hukum internasional.
Namun, pertanyaan tetap muncul mengenai nasib para deportan setibanya di negara asal, mengingat situasi hak asasi manusia dan kondisi ekonomi di Iran yang dilaporkan masih menghadapi tantangan. Laporan PBB mengenai situasi hak asasi manusia di Iran seringkali menyoroti adanya pelanggaran hak yang serius. Situasi ekonomi Iran juga dilaporkan mengalami inflasi tinggi dan penurunan nilai mata uang.
Administrasi Trump dikenal dengan kebijakan imigrasi yang ketat, termasuk upaya untuk mempercepat proses deportasi. Kesepakatan dengan Iran ini merupakan sebuah anomali dalam lanskap kebijakan imigrasi AS yang lebih luas. Peristiwa ini memicu diskusi mengenai implikasi jangka panjang dari kerja sama semacam ini, terutama dalam konteks hak asasi manusia dan stabilitas regional, menunjukkan potensi penyelesaian masalah migrasi melalui dialog antarnegara, namun kekhawatiran mengenai kondisi para deportan di negara tujuan tetap menjadi perhatian utama.