Warisan Kuliner Tionghoa Membentuk Identitas Gastronomi Indonesia

Diedit oleh: Olga Samsonova

Kehadiran etnis Tionghoa di Nusantara telah memberikan dampak signifikan terhadap lanskap kuliner Indonesia, sebuah proses yang terbentang sejak gelombang migrasi dan perdagangan yang dimulai sekitar abad keempat hingga ketujuh Masehi. Pengaruh budaya Tiongkok ini melampaui pengenalan bahan pangan baru, meresap ke dalam teknik pengolahan dan penamaan hidangan, yang kemudian menciptakan kekayaan gastronomi khas Indonesia.

Bukti awal interaksi kuliner ini tercatat dalam Prasasti Watukura tahun 902 Masehi, yang mencantumkan kata 'tauhu' (Hokkien untuk tahu), mengindikasikan bahwa budidaya kedelai dan adaptasi kuliner Peranakan telah terjadi sejak masa Kerajaan Mataram Kuno. Gelombang awal perdagangan memperkenalkan komoditas penting seperti kedelai, yang menjadi fondasi bagi banyak inovasi kuliner, bersama dengan buah-buahan seperti leci dan lengkeng. Interaksi yang lebih mendalam terjadi melalui komunitas Peranakan, di mana resep asli Tiongkok mengalami transformasi dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan preferensi cita rasa Nusantara. Teknik memasak seperti menumis dan menggoreng rendam (deep frying) juga diperkenalkan oleh masyarakat Tionghoa, memperkaya khazanah pengolahan makanan di kepulauan ini.

Evolusi hidangan ikonik seperti Bakso menjadi studi kasus utama asimilasi budaya ini. Secara etimologis, 'Bakso' berasal dari bahasa Hokkien 'Bak-So', yang berarti daging giling, dengan akar yang dapat ditelusuri hingga Dinasti Ming di Tiongkok. Namun, di Indonesia, untuk mengakomodasi mayoritas penduduk Muslim, bahan baku utama telah beralih dari daging babi menjadi daging sapi, ayam, atau ikan. Hidangan ini kini menjadi favorit nasional dengan varian seperti Bakso Solo yang bercirikan kuah bening dan Bakso Malang dengan pelengkap seperti pangsit goreng.

Adaptasi mendalam juga terlihat pada pengembangan bumbu penyedap esensial, yaitu Kecap Manis. Bumbu ini merupakan modifikasi dari kecap asin ('Ke'tsiap') yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa, yang awalnya kurang sesuai dengan selera masyarakat Jawa yang cenderung menyukai rasa manis. Solusinya adalah penambahan gula kelapa atau gula merah ke dalam formula kecap asin, sebuah inovasi yang lahir dari pertemuan budaya Tionghoa dan Jawa. Kecap manis kini menjadi elemen tak terpisahkan dalam masakan Indonesia, mulai dari sate dan semur hingga gudeg, dan memicu munculnya produsen kecap tradisional seperti Kecap Benteng Cap SH yang mulai berproduksi di Tangerang sejak tahun 1920.

Perkembangan kuliner Tionghoa-Indonesia, yang juga mencakup hidangan seperti Bakmi, Capcay, dan Lumpia, menunjukkan bahwa akulturasi budaya merupakan proses dua arah. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya, pengaruh Tionghoa sangat kentara, bahkan membentuk identitas kuliner lokal seperti pada hidangan Betawi. Kekayaan kuliner Indonesia saat ini mencerminkan kemampuan adaptasi yang luar biasa, di mana unsur asing diolah dan diperkaya dengan rempah-rempah lokal, menghasilkan identitas rasa yang unik dan terus berkembang.

7 Tampilan

Sumber-sumber

  • tvonenews.com

  • kumparan.com

  • Republika.id

  • tvOnenews.com

  • Yukmakan

  • jabarjuara.co

Apakah Anda menemukan kesalahan atau ketidakakuratan?

Kami akan mempertimbangkan komentar Anda sesegera mungkin.