Pulau Dewata Bali dilanda banjir bandang yang tragis pada Selasa malam hingga Rabu pagi (9-10 September 2025), menyebabkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang signifikan.
Hujan deras yang mengguyur tanpa henti memicu kekacauan, melumpuhkan akses jalan utama, dan membuat warga terperangkap di rumah mereka. Di Denpasar, ibu kota provinsi, dua bangunan runtuh akibat terjangan air, menyebabkan empat korban jiwa. Wilayah Jembrana melaporkan dua korban meninggal lainnya, dengan 85 warga terpaksa dievakuasi. Hingga Rabu sore (10 September 2025), total korban jiwa dilaporkan mencapai sembilan orang, sementara enam lainnya masih dalam pencarian. Akses menuju Bandara Internasional Bali mengalami hambatan serius, menyebabkan penundaan penerbangan.
Analisis dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah III Denpasar mengidentifikasi bahwa penyebab utama hujan ekstrem ini adalah fenomena gelombang ekuatorial Rossby. Gelombang atmosfer ini secara signifikan memengaruhi pola cuaca di wilayah tropis, termasuk Indonesia, dengan mendukung pertumbuhan awan konvektif yang sangat lebat dan menghasilkan curah hujan luar biasa tinggi. Di Jembrana, curah hujan tercatat mencapai 385,5 mm/hari.
Beberapa faktor geografis dan meteorologis turut memperparah kondisi ini. Posisi Bali yang diapit Samudra Hindia dan Laut Flores menjadikannya jalur lintasan alami gelombang atmosfer. Suhu permukaan laut yang hangat di selatan Bali pada awal September 2025 (28-29°C) meningkatkan penguapan. Topografi pulau dengan pegunungan juga memicu udara lembap terangkat, memperkuat pembentukan awan hujan. Kondisi ini diperparah dengan Bali yang sedang memasuki masa peralihan musim dari kemarau ke musim hujan.
Sekitar 200 personel penyelamat dikerahkan untuk membantu warga dan membersihkan puing-puing. Pemerintah Provinsi Bali telah menetapkan status tanggap darurat bencana untuk Kota Denpasar, dengan 43 titik banjir terdata di wilayah tersebut, dua area paling parah adalah kawasan Pasar Badung dan sepanjang aliran Sungai Badung.