Gunung Ile Lewotolok di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanik yang signifikan. Pada hari Sabtu, 27 September 2025, tercatat sebanyak 73 kali letusan yang disertai dengan suara gemuruh. Pengamatan antara pukul 06:00 hingga 09:00 WITA merekam letusan dengan amplitudo berkisar antara 4 hingga 20,3 mm dan durasi antara 40 hingga 53 detik. Setiap letusan menghasilkan kolom asap berwarna putih dan abu-abu yang membubung setinggi 100 hingga 400 meter di atas kawah.
Status gunung api ini tetap berada pada Level III atau Siaga. Masyarakat diimbau untuk menjaga jarak aman minimal 3 kilometer dari pusat aktivitas vulkanik. Pihak berwenang terus memantau perkembangan situasi dan menerapkan langkah-langkah mitigasi yang diperlukan. Sejarah mencatat bahwa Gunung Ile Lewotolok telah aktif sejak lama, dengan letusan pertama tercatat pada tahun 1660. Aktivitas vulkanik yang intens telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarahnya, termasuk pada tahun 1852, 1865, 1889, 1920, 1939, dan 1951.
Setelah periode relatif tenang, gunung ini kembali menunjukkan aktivitas signifikan pada tahun 2012, yang memicu peningkatan status kewaspadaan. Pada Desember 2020, erupsi kembali terjadi dan menyebabkan lahar dingin menerjang dua desa, memaksa pemerintah menetapkan status darurat bencana. Peningkatan status menjadi Siaga (Level III) juga terjadi pada 2 Juli 2025, dipicu oleh peningkatan aktivitas erupsi yang ditandai dengan kolom abu vulkanik yang semakin tinggi dan lontaran material pijar. Aktivitas kegempaan yang meningkat tajam pada pertengahan September 2025, termasuk puluhan gempa letusan dan hembusan dalam sehari, menegaskan bahwa gunung ini terus menunjukkan dinamika internal yang kuat. Tercatat pula ribuan kali letusan dalam satu pekan pada Agustus 2025, menunjukkan frekuensi erupsi yang sangat tinggi.
Dampak dari aktivitas vulkanik Gunung Ile Lewotolok tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di sekitar, tetapi juga memengaruhi sektor transportasi udara. Bandara Wunopito di Lewoleba dan Bandara Gewayantana di Larantuka sempat ditutup karena sebaran abu vulkanik yang mengganggu keselamatan penerbangan. Penutupan ini menyebabkan pembatalan sejumlah penerbangan, termasuk maskapai Wings Air, yang berdampak pada mobilitas warga dan logistik. Situasi ini menyoroti pentingnya sistem peringatan dini dan koordinasi antarlembaga untuk mengelola risiko bencana vulkanik, serta kesadaran masyarakat akan pentingnya mengikuti imbauan keselamatan. Meskipun aktivitas vulkanik terus berlangsung, pihak berwenang tetap berupaya meminimalkan risiko dan memastikan keselamatan publik melalui pemantauan ketat dan komunikasi yang efektif.