Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah mengumumkan berlakunya perjanjian "Fish One", sebuah kesepakatan penting yang bertujuan untuk mengakhiri subsidi perikanan yang merusak. Perjanjian ini secara resmi berlaku pada 15 September 2025, setelah Brasil, Kenya, Tonga, dan Vietnam menyerahkan ratifikasi mereka, membawa total negara anggota yang meratifikasi menjadi 111 negara.
"Fish One" dirancang untuk meningkatkan kelestarian samudra dengan melarang subsidi pemerintah yang mendorong penangkapan ikan berlebihan serta aktivitas penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU). Secara khusus, perjanjian ini menargetkan subsidi yang mendukung praktik IUU dan eksploitasi stok ikan yang telah mengalami penangkapan berlebihan. Selain itu, perjanjian ini juga memberlakukan pembatasan terhadap subsidi untuk aktivitas perikanan di perairan internasional, termasuk laut lepas.
Negara-negara yang meratifikasi kini diwajibkan untuk melaporkan subsidi perikanan mereka kepada WTO, menyajikan data rinci mengenai status stok ikan, pengelolaan, dan informasi tangkapan. Hal ini sejalan dengan upaya global untuk menciptakan pengelolaan perikanan yang lebih transparan dan bertanggung jawab. Sebagai contoh, Indonesia telah menunjukkan komitmennya dengan menetapkan kawasan konservasi perairan untuk mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Secara historis, subsidi yang merusak diperkirakan mencapai puluhan miliar dolar setiap tahun, berkontribusi terhadap penangkapan ikan berlebihan dan penipisan ekosistem laut. Data tahun 2019 menunjukkan bahwa pemerintah mengalokasikan sekitar 35,4 miliar dolar untuk armada penangkapan ikan mereka, termasuk subsidi bahan bakar. Sponsor terbesar adalah Tiongkok, UE, AS, Korea Selatan, dan Jepang, meskipun tidak semua program mereka termasuk dalam aturan baru.
Namun, negosiasi untuk perjanjian lanjutan, "Fish Two", yang berfokus pada subsidi yang berkontribusi pada kelebihan kapasitas dan penangkapan ikan berlebihan, masih menghadapi tantangan. Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO pada Maret 2024 berakhir tanpa kesepakatan final mengenai "Fish Two", menyoroti adanya perbedaan pandangan yang berkelanjutan di antara negara-negara anggota. Keberhasilan "Fish One" menjadi fondasi penting, namun penyelesaian "Fish Two" akan sangat menentukan bagi keanekaragaman hayati laut global dan kesehatan ekosistem samudra secara keseluruhan.
Upaya pengelolaan perikanan yang lebih ketat, seperti optimalisasi alat tangkap purse seine untuk ikan cakalang di pelabuhan perikanan, menunjukkan kesadaran akan pentingnya metode penangkapan yang lebih bertanggung jawab. Perjanjian "Fish One" diharapkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap upaya global dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. Dengan adanya larangan subsidi yang merusak, praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan diharapkan dapat diminimalisir, memberikan ruang bagi pemulihan stok ikan dan menjaga kesehatan laut untuk generasi mendatang.