Amerika Serikat telah memberlakukan tarif sebesar 50% untuk barang-barang asal India, yang mulai berlaku pada 27 Agustus 2025. Keputusan ini merupakan respons terhadap impor minyak Rusia yang terus berlanjut oleh India, menandakan eskalasi signifikan dalam ketegangan perdagangan antara kedua negara.
Tarif baru ini, yang diberlakukan berdasarkan Perintah Eksekutif 14329 yang ditandatangani pada 6 Agustus 2025, menargetkan lebih dari separuh dari total ekspor India ke AS yang bernilai $87 miliar. Sektor-sektor seperti tekstil, permata dan perhiasan, kulit, mesin, furnitur, dan produk laut akan terkena dampak signifikan. Para analis memperkirakan langkah ini dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi India sebesar 0,4% hingga 0,8% setiap tahunnya, dengan Goldman Sachs memproyeksikan potensi penurunan pertumbuhan PDB sebesar 0,60%.
Sebagai tanggapan, India sedang menjajaki pasar alternatif dan memperkuat hubungan dengan Rusia untuk memitigasi dampak ekonomi. Pemerintah India telah mengkritik kenaikan tarif AS sebagai "tidak adil, tidak adil, dan tidak masuk akal," dan berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingannya. Perdana Menteri Narendra Modi menyatakan bahwa India akan menahan tekanan eksternal dan tidak akan mengkompromikan kepentingan petani, industri kecil, dan produsen domestik.
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mengonfirmasi bahwa tarif tersebut berlaku untuk barang yang masuk untuk konsumsi pada atau setelah 27 Agustus 2025. Namun, ada beberapa pengecualian, termasuk pengiriman yang berangkat dari India sebelum 27 Agustus 2025 dan dibersihkan di AS sebelum 17 September 2025. Kategori produk tertentu seperti baja, tembaga, aluminium, serta sektor farmasi, elektronik, dan kendaraan penumpang juga dikecualikan dari surcota ini.
Ketegangan perdagangan ini dapat menyebabkan reaksi langsung di pasar global, yang secara khusus memengaruhi sektor-sektor yang bergantung pada perdagangan India-AS. Para eksportir India khawatir bahwa tarif baru ini akan memengaruhi margin keuntungan mereka dan pada akhirnya memperlambat pengiriman ke AS, karena pesaing seperti Vietnam, Bangladesh, dan Tiongkok menghadapi tarif yang jauh lebih rendah.