Perjanjian Laut Lepas Mulai Berlaku 2026, Menjanjikan Era Baru Perlindungan Lautan

Diedit oleh: Татьяна Гуринович

Perjanjian Laut Lepas, sebuah kesepakatan global yang dirancang untuk melindungi lautan dunia dan memulihkan kehidupan laut yang terancam, akan resmi berlaku sebagai hukum internasional pada Januari 2026. Tonggak sejarah ini dicapai setelah Maroko menjadi negara ke-60 yang meratifikasi perjanjian tersebut, memenuhi ambang batas yang diperlukan untuk implementasinya. Kesepakatan ini, yang diadopsi pada Juni 2023 setelah hampir dua dekade negosiasi, menetapkan aturan yang mengikat secara hukum untuk konservasi dan penggunaan berkelanjutan keanekaragaman hayati laut di area di luar yurisdiksi nasional. Perjanjian ini bertujuan untuk melindungi kehidupan dan ekosistem laut, yang saat ini menghadapi ancaman serius dari penangkapan ikan berlebih, polusi, dan perubahan iklim.

Ketentuan perjanjian ini mencakup pembentukan kawasan lindung laut (KKL) di perairan internasional, memastikan penilaian dampak lingkungan untuk aktivitas manusia yang direncanakan, serta mempromosikan akses yang adil terhadap sumber daya genetik laut dan transfer teknologi bagi negara-negara berkembang. Perjanjian ini juga dipandang sebagai langkah krusial untuk mencapai target global "30x30," yang bertujuan untuk melindungi 30% daratan dan lautan planet pada tahun 2030. Saat ini, hanya sekitar 1% dari laut lepas yang dilindungi, menyoroti urgensi perjanjian ini.

Para aktivis lingkungan menyambut perjanjian ini sebagai "pencapaian monumental" dan bukti kerja sama internasional untuk perlindungan lingkungan. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres menyatakan bahwa perjanjian ini menetapkan aturan yang mengikat untuk melestarikan dan menggunakan keanekaragaman hayati laut secara berkelanjutan.

Namun, kekhawatiran tetap ada mengenai efektivitas penuh perjanjian ini, terutama jika negara-negara maritim besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan Jepang tidak sepenuhnya berkomitmen atau berpartisipasi aktif. Para ahli juga memperingatkan bahwa perjanjian ini adalah "stasiun perantara, bukan titik akhir," menekankan bahwa upaya berkelanjutan diperlukan untuk memastikan implementasinya yang efektif dan mencegah kerusakan lebih lanjut pada ekosistem laut. Tantangan dalam penegakan hukum dan memastikan kepatuhan dari semua pihak, terutama terkait aktivitas seperti penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing), sangat signifikan.

Beberapa tokoh kunci telah menyuarakan dukungan dan kekhawatiran mereka. Johan Bergenas, Wakil Presiden Senior Urusan Kelautan di World Wildlife Fund (WWF), menekankan urgensi perjanjian ini, mencatat kurangnya pengelolaan dan penegakan hukum di laut lepas. Oseanografer Sylvia Earle, meskipun menyambut baik ratifikasi tersebut, memperingatkan bahwa ini hanyalah langkah perantara dan praktik yang tidak berkelanjutan terus-menerus menimbulkan bahaya besar.

Bagi negara-negara kepulauan seperti Vanuatu, yang dipimpin oleh Menteri Perubahan Iklim Ralph Regenvanu, perjanjian ini memiliki arti penting, menggarisbawahi keterkaitan kesehatan laut global dan kerentanan mereka sendiri. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, juga memiliki kepentingan strategis, dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyoroti partisipasi aktif negara itu dalam negosiasi dan komitmennya terhadap kerja sama internasional untuk konservasi laut.

Berlakunya perjanjian ini adalah langkah penting, tetapi pekerjaan nyata dalam implementasi, pembentukan mekanisme yang diperlukan, dan memastikan partisipasi yang luas akan menjadi kunci keberhasilannya dalam melindungi lautan planet ini.

Sumber-sumber

  • NTV

  • Euronews

Apakah Anda menemukan kesalahan atau ketidakakuratan?

Kami akan mempertimbangkan komentar Anda sesegera mungkin.