Ketegangan diplomatik antara Amerika Serikat dan Brasil meningkat tajam setelah juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, pada Selasa (9 September) mengindikasikan kemungkinan penerapan tarif dan sanksi oleh Presiden Donald Trump terhadap Brasil, bahkan tidak menutup kemungkinan penggunaan kekuatan militer. Ancaman ini muncul di tengah persidangan mantan Presiden Jair Bolsonaro di Mahkamah Agung Federal Brasil (STF).
Para analis menilai pernyataan Leavitt sebagai langkah yang terburu-buru. Carlos Poggio, seorang profesor hubungan internasional, menyebut deklarasi tersebut "impetuous" dan tidak berdasar, menyarankan agar ancaman tersebut tidak dianggap serius karena retorika semacam itu sering kali bersifat sporadis dari pemerintahan AS saat ini. Poggio menduga Leavitt mungkin tidak membedakan antara Brasil dan negara lain, menghasilkan "pernyataan kosong" yang sebaiknya diabaikan oleh pemerintah Brasil.
Secara resmi, Kementerian Luar Negeri Brasil (Itamaraty) mengeluarkan nota yang menolak keras penggunaan sanksi ekonomi atau ancaman militer terhadap demokrasi Brasil, menegaskan bahwa institusi Brasil tidak akan gentar oleh serangan terhadap kedaulatan nasional. Namun, Camila Rocha, seorang Doktor Ilmu Politik, menyarankan kehati-hatian, mengingatkan bahwa "tidak ada yang dikatakan sia-sia" dan isu kebebasan berekspresi bisa jadi merupakan kedok untuk kepentingan ekonomi dan politik AS yang lebih luas di Brasil.
Ancaman AS ini mencakup penerapan tarif sebesar 50% untuk sebagian besar produk ekspor Brasil ke Amerika Serikat, yang mulai berlaku efektif 1 Agustus 2025. Kebijakan ini, yang dikaitkan oleh pemerintahan Trump dengan dugaan "perburuan penyihir" terhadap Bolsonaro dan kampanye sensor terhadap perusahaan media sosial AS, telah memicu reaksi keras dari Brasil. Presiden Luiz Inácio Lula da Silva mengecam tindakan tersebut sebagai "pemerasan tarif" yang ilegal dan merusak, serta menegaskan bahwa Brasil tidak akan terintimidasi dan siap mengambil tindakan balasan sesuai hukum ekonomi negara jika diperlukan.
Brasil telah menyiapkan paket bantuan ekonomi senilai $5,55 miliar melalui program "Sovereign Brazil" untuk meringankan dampak tarif tersebut bagi produsen nasional, meskipun Presiden Lula memilih untuk tidak menerapkan tarif timbal balik secara langsung untuk menghindari eskalasi hubungan bilateral. Di ranah hukum, pengacara Pierpaolo Cruz Bottini menyebut ancaman kekuatan militer sebagai hal yang "tidak dapat dijelaskan" dari sebuah negara yang mengklaim sebagai demokrasi. Gabriel Sampaio, direktur NGO Conectas, menekankan keseriusan pernyataan tersebut sebagai upaya menyerang independensi peradilan dan kedaulatan Brasil.
Paulo José Lara, direktur eksekutif NGO Article 19, melihat ancaman ini sebagai langkah otoriter AS yang bertujuan menstabilkan tatanan multilateral dan internasional. Di tengah dinamika ini, negara-negara anggota BRICS, termasuk Brasil, telah menyuarakan penolakan terhadap praktik perdagangan AS yang dianggap sebagai "pemerasan tarif" dan ancaman terhadap kedaulatan. Presiden Lula dan Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam pertemuan virtual BRICS pada 8 September 2025, menyerukan persatuan untuk melawan proteksionisme global dan memperkuat integrasi ekonomi antaranggota untuk memitigasi dampak kebijakan unilateral.