Presiden Rusia Vladimir Putin pada 3 September 2025 menyatakan kesiapannya untuk bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Moskow, namun dengan syarat-syarat yang spesifik dan persiapan yang matang. Pernyataan ini muncul di tengah gelaran parade militer akbar di Beijing, Tiongkok, yang memperingati 80 tahun kemenangan atas Jepang dalam Perang Dunia II. Acara bersejarah ini dihadiri oleh Putin dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, sebuah kehadiran yang diinterpretasikan sebagai penanda pergeseran signifikan dalam lanskap aliansi global.
Putin merinci bahwa pertemuan dengan Zelensky hanya akan terwujud jika dipersiapkan dengan baik dan menghasilkan kesepakatan yang konkret. Ia menetapkan prasyarat, termasuk pencabutan status darurat militer di Ukraina, penyelenggaraan pemilihan umum, serta pelaksanaan referendum mengenai isu-isu teritorial. Kondisi ini menggarisbawahi kompleksitas konflik yang sedang berlangsung, terutama mengingat klaim aneksasi Rusia atas empat wilayah Ukraina pada tahun 2022, yang tidak diakui oleh Ukraina maupun komunitas internasional. Sebelumnya, Kremlin juga sempat melontarkan keraguan mengenai legitimasi Zelensky sebagai presiden, menambah lapisan kesulitan dalam upaya penjajakan dialog damai.
Parade militer Tiongkok pada 2 September 2025, yang menandai 80 tahun kekalahan Jepang, menjadi panggung bagi demonstrasi kekuatan militer dan simbolisme geopolitik. Kehadiran Putin dan Kim Jong Un di Beijing, berdampingan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping, memperkuat citra penguatan hubungan antara ketiga negara. Fenomena ini sering disebut sebagai pembentukan "Poros Pergolakan" atau aliansi yang menantang dominasi Barat, menandakan pergeseran sentral geopolitik dari kawasan tradisional menuju Asia Pasifik.
Menanggapi dinamika ini, Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara terbuka menuduh Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara berkonspirasi melawan Amerika Serikat. Tuduhan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam di Barat terhadap menguatnya blok negara-negara yang dianggap menantang hegemoni AS dan mendorong tatanan dunia multipolar. Para analis menilai bahwa upaya AS untuk memisahkan Rusia dari Tiongkok akan menghadapi tantangan besar, mengingat kedalaman hubungan strategis kedua negara.
Peristiwa di Beijing ini, yang bertepatan dengan pernyataan Putin mengenai potensi dialog dengan Zelensky, menunjukkan bagaimana diplomasi dan manuver geopolitik saling terkait erat dalam membentuk narasi global. Kehadiran para pemimpin di acara bersejarah tersebut tidak hanya mencerminkan hubungan bilateral yang semakin erat, tetapi juga aspirasi untuk menciptakan keseimbangan kekuatan global yang baru. Dalam konteks ini, setiap langkah diplomatik, termasuk syarat-syarat yang diajukan Putin untuk pertemuan dengan Zelensky, dapat dilihat sebagai bagian dari strategi yang lebih luas dalam menavigasi lanskap internasional yang terus berubah. Pergeseran aliansi ini membuka ruang bagi pemahaman baru mengenai dinamika kekuatan global, di mana tindakan individu pemimpin dapat membentuk pola-pola baru yang memengaruhi stabilitas dan kerja sama internasional.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada 2 September 2025, menyatakan bahwa baik Putin maupun Zelensky belum siap untuk pertemuan tatap muka. Erdogan menyampaikan hal ini setelah bertemu dengan Putin di Tiongkok dan berbicara dengan Zelensky melalui telepon, menambahkan bahwa meskipun negosiasi antara pejabat Rusia dan Ukraina di Istanbul menunjukkan bahwa jalan menuju perdamaian tetap terbuka, kondisi untuk pertemuan puncak para pemimpin belum tercipta.
Sementara itu, Kremlin pada 3 September 2025, melalui juru bicaranya, menolak tuduhan Trump mengenai konspirasi. Juru bicara Kremlin Yuri Ushakov menyatakan bahwa Trump mungkin berbicara secara ironis dan bahwa Putin, Xi, dan Kim tidak sedang merencanakan konspirasi apa pun terhadap Amerika Serikat. Putin sendiri menegaskan kembali bahwa perang di Ukraina bukan tentang ekspansi teritorial, melainkan tentang pembelaan "hak-hak rakyat," sambil menyatakan kembali penolakannya terhadap keanggotaan Ukraina di NATO. Ia menekankan bahwa prinsip hak setiap negara untuk memilih jaminan keamanannya sendiri juga berlaku untuk Rusia, dan ekspansi NATO ke arah timur mengancam kepentingan Rusia. Mengenai pertemuan dengan Zelensky, Putin menyuarakan keterbukaan bersyarat, namun mempertanyakan nilai dari pertemuan tersebut, menunjukkan skeptisisme terhadap kemungkinan negosiasi yang berarti dalam kondisi saat ini.