Amerika Serikat secara resmi membatalkan pembicaraan perdagangan yang dijadwalkan dengan India, yang seharusnya berlangsung dari 25 hingga 29 Agustus 2025 di New Delhi. Keputusan mendadak ini, yang diumumkan pada 16 Agustus 2025, menandai eskalasi signifikan dalam ketegangan perdagangan bilateral, yang dipicu oleh keputusan AS untuk memberlakukan tarif tambahan sebesar 25% pada barang-barang India. Tarif ini, yang akan berlaku pada 27 Agustus 2025, dapat menaikkan bea masuk beberapa produk India hingga 50%, menempatkannya di antara tarif tertinggi yang dikenakan pada mitra dagang AS mana pun.
Alasan utama di balik langkah drastis AS, seperti yang dinyatakan oleh Presiden Donald Trump, adalah impor minyak Rusia yang berkelanjutan oleh India. AS melihat pembelian minyak ini sebagai dukungan finansial bagi Rusia di tengah konflik yang sedang berlangsung di Ukraina. Pembatalan negosiasi ini merupakan pukulan bagi kedua belah pihak, karena menunda kemajuan dalam perjanjian perdagangan bilateral yang telah tertunda setelah lima putaran negosiasi sebelumnya. Perselisihan utama dalam negosiasi ini berkisar pada keengganan India untuk membuka sektor pertanian dan susu serta komitmennya untuk melanjutkan pembelian minyak Rusia.
Menanggapi tindakan AS, Perdana Menteri India Narendra Modi menegaskan kembali komitmen negaranya untuk melindungi kepentingan petani, nelayan, dan peternaknya. Dalam pidato Hari Kemerdekaan, Modi menekankan pentingnya kemandirian dalam manufaktur dan berjanji untuk tidak mengkompromikan kepentingan petani India, bahkan jika itu berarti menghadapi konsekuensi pribadi. Penekanan pada kemandirian ini, yang dikenal sebagai "Swadeshi" atau "Atmanirbhar Bharat", mencerminkan strategi India untuk mengurangi ketergantungan pada pemasok asing dan memperkuat sektor domestiknya, termasuk dalam bidang pertahanan dan teknologi.
Situasi ini menyoroti kompleksitas geopolitik yang memengaruhi hubungan ekonomi global. India berargumen bahwa mereka secara tidak adil menjadi sasaran, mengingat negara-negara besar lainnya, termasuk Uni Eropa dan China, juga terus melakukan perdagangan dengan Rusia. Namun, AS bersikeras bahwa tindakan India terhadap minyak Rusia merusak upaya internasional untuk menekan Moskow. Analis mencatat bahwa keputusan AS ini dapat berdampak signifikan pada hubungan strategis dan ekonomi kedua negara, yang sebelumnya telah berkembang pesat di bidang pertahanan dan teknologi. Nilai perdagangan bilateral antara AS dan India mencapai $191 miliar pada tahun 2024, dengan target ambisius untuk menggandakannya menjadi lebih dari $500 miliar pada tahun 2030. Namun, ketegangan saat ini menimbulkan keraguan tentang pencapaian tujuan tersebut.
Di tengah ketegangan ini, India terus memperkuat kemitraan strategisnya dengan negara-negara seperti China dan Rusia, sambil tetap mempertahankan hubungan penting dengan AS. Keputusan India untuk melanjutkan pembelian minyak Rusia didasarkan pada pertimbangan ekonomi, karena diskon yang ditawarkan membantu menstabilkan biaya energi domestik dan mengendalikan inflasi. Namun, langkah ini juga membawa risiko diplomatik dan potensi dampak ekonomi yang lebih luas jika AS memutuskan untuk menerapkan sanksi sekunder. Situasi ini menunjukkan keseimbangan rumit yang harus dihadapi India antara keamanan energi, kepentingan ekonomi, dan dinamika geopolitik global.