Tahun 2025 menjadi penanda momen krusial dalam eksplorasi astronomi. Periode ini ditandai dengan suksesnya integrasi kecerdasan buatan (AI) yang sangat canggih untuk mengelola dan menafsirkan aliran data masif yang dihasilkan oleh survei langit modern. Konvergensi teknologi ini menciptakan pergeseran fundamental, mengubah data observasi mentah menjadi wawasan ilmiah baru yang terstruktur, dengan tingkat presisi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah astrofisika.
Bukti utama dari kemampuan ini diuraikan dalam sebuah studi yang diterbitkan di jurnal bergengsi Nature Astronomy. Penelitian tersebut menampilkan penggunaan model bahasa besar (LLM) Gemini milik Google. Para peneliti memanfaatkan Gemini untuk menelaah arsip langit malam yang luas dari proyek observasi utama, termasuk Pan-STARRS, MeerLICHT, dan ATLAS. Model ini menunjukkan ketepatan klasifikasi yang luar biasa: mencapai akurasi 94.1% pada data Pan-STARRS, 93.4% pada observasi MeerLICHT, dan 91.9% pada data ATLAS. Kinerja superior ini menggarisbawahi potensi besar kerangka kerja AI canggih dalam menangani banjir data yang melekat pada survei astrofisika berskala besar.
Selain itu, penelitian paralel mengonfirmasi bahwa LLM serbaguna seperti Gemini dapat berfungsi sebagai asisten ahli hanya dengan sedikit instruksi (minimal prompting). Dengan hanya menggunakan 15 contoh gambar dan instruksi teks, model tersebut mampu mencapai akurasi sekitar 93% dalam mengklasifikasikan peristiwa astronomi transien, seperti supernova. Aksesibilitas ini mengindikasikan adanya demokratisasi analisis data yang kompleks, memungkinkan para peneliti yang tidak memiliki keahlian mendalam dalam pemrograman AI untuk memberikan kontribusi signifikan terhadap penemuan ilmiah.
Integrasi kecerdasan mesin ke dalam proses ilmiah menjadi topik sentral dalam Lokakarya Internasional tentang AI + Astronomi. Acara penting ini diselenggarakan di Hangzhou, Tiongkok, pada bulan Oktober 2025. Diskusi berfokus pada bagaimana model berskala besar mempercepat penemuan di berbagai bidang, mulai dari analisis spektral, pencitraan, hingga interpretasi data domain waktu. Sejalan dengan upaya tersebut, SkAI Institute—yang didirikan pada Oktober 2024 dengan hibah sebesar $20 juta—telah memajukan pekerjaannya pada Juni 2025. Tujuannya adalah merekayasa model AI khusus yang mampu memproses data astrofisika multi-modal (gambar, spektrum, dan deret waktu) pada skala industri, menjanjikan revolusi dalam pemahaman astrofisika menjelang datangnya data dari survei seperti Vera C. Rubin Observatory.
Era baru ini semakin disoroti oleh pencapaian siswa sekolah menengah, Matteo Paz, pada bulan April 2025. Dibimbing oleh Davy Kirkpatrick di Caltech, Paz mengembangkan algoritma AI yang berhasil mengkatalogkan 1.5 juta objek langit yang sebelumnya tidak teridentifikasi. Model buatan Paz menyaring data yang kurang dipelajari dari teleskop inframerah NEOWISE milik NASA yang sudah pensiun. Model tersebut mendeteksi fluktuasi inframerah samar dari objek variabel yang terlewatkan karena volume data yang besar. Karya terobosan ini, yang menghasilkan publikasi yang ditinjau sejawat di The Astronomical Journal, menegaskan bahwa penerapan inovatif alat yang tersedia sangat memperkuat kapasitas untuk penemuan besar, bahkan dari data yang dianggap usang.
