Industri mode global sedang mengalami pergeseran signifikan menuju inklusivitas dan keberagaman, didorong oleh konsep "Body Inclusive Design." Pendekatan ini bertujuan untuk membuat fesyen dapat diakses oleh semua tipe tubuh, ukuran, dan kondisi kehidupan, melampaui sekadar penambahan ukuran pakaian.
Gerakan kesadaran tubuh (body positivity) telah membuka jalan dengan menantang standar kecantikan yang kaku. Dalam spektrum inklusivitas ini, fesyen adaptif, yaitu pakaian yang dirancang khusus untuk individu dengan disabilitas, menjadi sorotan utama. Di Eropa, lebih dari 130 juta orang hidup dengan disabilitas, dan diperkirakan sekitar 1,3 miliar orang di seluruh dunia hidup dengan disabilitas, menjadikan fesyen adaptif sebagai kebutuhan krusial yang memadukan fungsionalitas dan gaya. Merek-merek ternama seperti Nike dan Adidas telah memperkenalkan alas kaki dan pakaian olahraga adaptif, sementara Zalando berkolaborasi dengan Ottobock untuk koleksi pengguna prostetik dan kursi roda.
Di Indonesia, geliat fesyen adaptif masih dalam tahap awal dan tertinggal. Pasar pakaian adaptif di AS diproyeksikan mencapai 54,8 miliar dolar AS pada tahun 2023, dengan perkiraan lain sebesar 4,54 miliar dolar AS pada tahun 2023. Dibandingkan pasar global yang diproyeksikan mencapai hampir 400 miliar dolar AS pada tahun 2026, dengan perkiraan lain mencapai 2,117 miliar dolar AS pada tahun 2030 atau 376 juta dolar AS pada tahun 2027. Kesadaran akan fesyen adaptif di tanah air masih tergolong rendah, meskipun terdapat sekitar 7 hingga 10 juta penduduk dengan disabilitas yang menghadapi tantangan dalam menemukan pakaian yang sesuai. Meskipun ada beberapa label lokal yang mulai merintis, konsumen seringkali kesulitan menemukan pilihan desain adaptif yang inovatif. Fitur-fitur seperti kancing magnetik, ritsleting satu tangan, desain yang nyaman untuk pengguna kursi roda, atau bahan yang ramah sensorik dapat memberikan kemudahan luar biasa dalam berpakaian. Selain itu, inovasi teknologi seperti pencetakan 3D, kecerdasan buatan (AI), dan tekstil pintar juga merevolusi penciptaan pakaian adaptif yang disesuaikan.
Semangat inklusivitas di Indonesia tidak hanya terbatas pada kebutuhan disabilitas. Gerakan fesyen inklusif yang lebih luas kini semakin mengemuka, berupaya mendefinisikan ulang standar kecantikan dengan merangkul keberagaman bentuk tubuh, warna kulit, dan latar belakang budaya. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap individu merasa terwakili dan dihargai dalam industri mode, menciptakan rasa memiliki yang lebih dalam.
Merek-merek fesyen besar semakin menyadari pentingnya desain yang inklusif. Tommy Hilfiger Adaptive, misalnya, telah meluncurkan lini pakaian pada tahun 2016 yang menampilkan penutup magnetik dan potongan yang ramah kursi roda. Label perintis seperti IZ Adaptive, serta merek baru seperti Auf Augenhöhe dan Unhidden, terus mengembangkan solusi fesyen yang modis dan etis. Victoria Jenkins, pendiri Unhidden, telah menjadi advokat terkemuka untuk inklusivitas, berkolaborasi dengan Primark dalam koleksi adaptif.
Pergeseran menuju fesyen yang merangkul semua orang bukan sekadar tren, melainkan cerminan dari evolusi kesadaran kolektif. Ini adalah undangan untuk melihat fesyen sebagai alat pemberdayaan, yang memungkinkan setiap individu mengekspresikan diri dengan percaya diri dan nyaman. Dengan merayakan setiap bentuk dan kebutuhan, industri mode dapat menjadi cermin masyarakat yang lebih harmonis, di mana setiap orang merasa terlihat, dihargai, dan memiliki ruang untuk bersinar.