Gerakan 'disinfluencing' telah muncul sebagai tren signifikan dalam industri mode, menantang paradigma konsumsi berlebihan yang sering dipromosikan oleh influencer tradisional. Pendekatan ini mendorong konsumen untuk membuat keputusan pembelian yang lebih bijaksana dan reflektif, dengan para kreator yang menganut 'disinfluencing' secara aktif menyarankan audiens mereka untuk menghindari produk yang tidak bernilai dan mempertanyakan validitas tren viral.
Fenomena ini mencerminkan keprihatinan masyarakat yang meluas mengenai konsumsi berlebihan dan isu keberlanjutan, terutama di kalangan Generasi Z. Generasi ini dikenal mahir dalam mengidentifikasi konten yang terasa dipaksakan atau murni bersifat komersial. Peningkatan percakapan seputar 'disinfluencing' menandakan pergeseran menuju pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab, di mana jeda dalam siklus pembelian otomatis dianjurkan untuk merenungkan kebutuhan pribadi dan dampak lingkungan dari setiap produk.
Meskipun beberapa merek mulai mengadopsi narasi 'disinfluencing', terdapat potensi risiko bahwa tren ini dapat disalahgunakan menjadi sekadar estetika konsumerisme baru. Namun demikian, terlepas dari potensi komersialisasi, 'disinfluencing' secara fundamental memengaruhi strategi merek untuk bergerak menuju transparansi dan keaslian yang lebih besar. Merek kini lebih sering berkolaborasi dengan kreator yang menawarkan ulasan jujur dan mendalam, bahkan ketika produk tersebut mungkin hanya cocok untuk kebutuhan spesifik. Kejujuran semacam ini terbukti membangun hubungan yang lebih kuat dengan audiens yang semakin skeptis terhadap promosi yang dangkal.
'Disinfluencing' lebih dari sekadar tren digital sesaat; ini merupakan ajakan untuk mengevaluasi kembali kebiasaan dan motivasi konsumsi kita. Penyebarannya, terutama di kalangan demografi muda yang terpapar konten aspiratif secara konstan, menyoroti keinginan mendasar untuk mempertanyakan dan memilih berdasarkan kriteria pribadi, bukan sekadar tekanan algoritma. Pendekatan kritis ini mulai mendapatkan resonansi di kalangan generasi yang lebih tua juga, yang juga merasakan kelelahan akibat saturasi iklan yang terus-menerus.
Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 75% konsumen Gen Z menganggap keberlanjutan lebih penting daripada nama merek saat membuat keputusan pembelian. Lebih lanjut, 88% pengguna Gen Z melaporkan telah mengalami 'de-influencing', dengan alasan utama adalah tingkat konsumsi berlebihan yang tidak sehat yang didorong oleh promosi produk di media sosial. Tren ini secara jelas menunjukkan pergeseran menuju kebiasaan konsumsi yang lebih sadar dan kritis, di mana konsumen semakin skeptis terhadap pemasaran influencer. Hal ini memaksa merek untuk lebih fokus pada transparansi, keaslian, dan kualitas produk agar tetap relevan di pasar.
Studi tambahan mengungkapkan bahwa 62% Gen Z lebih memilih untuk membeli dari merek yang berkelanjutan, sebuah angka yang setara dengan Milenial. Tren ini juga mendorong merek untuk mengadopsi praktik yang lebih etis dan transparan, karena konsumen semakin mencari keselarasan antara nilai-nilai pribadi mereka dan pilihan pembelian mereka. 'Disinfluencing' bukan hanya tren digital, tetapi juga cerminan dari perubahan kesadaran konsumen yang lebih luas. Gerakan ini mendorong individu untuk mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan konsumsi, memprioritaskan kebutuhan sejati, dan dampak yang lebih luas dari pilihan mereka. Seiring semakin banyak orang merangkul pendekatan yang lebih sadar ini, industri mode diharapkan untuk beradaptasi, membina budaya yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.