Penelitian Baru Membantah Teori Epidemi yang Menjelaskan Pengabaian Ibu Kota Akhetaten
Diedit oleh: Ирина iryna_blgka blgka
Gagasan yang telah dipegang selama bertahun-tahun mengenai ditinggalkannya ibu kota Mesir Kuno, Akhetaten, secara tiba-tiba akibat wabah mematikan kini sedang ditinjau ulang secara serius. Pandangan tradisional ini, yang telah mendominasi interpretasi sejarah kota tersebut, kini menghadapi tantangan signifikan. Sebuah penelitian segar, yang dipublikasikan oleh Dr. Gretchen Dabbs dan Dr. Ene Stevens dalam American Journal of Archaeology pada Oktober 2025, menyajikan perspektif yang berbeda dan lebih mendalam terhadap rangkaian peristiwa tersebut. Analisis yang dilakukan oleh para ilmuwan ini secara langsung mempertanyakan asumsi dasar mengenai krisis kesehatan masyarakat dan bahkan meragukan keberadaan epidemi berskala besar selama masa pemerintahan Firaun Akhenaten. Ini merupakan pergeseran paradigma penting dalam studi Mesirologi.
Kota yang kini dikenal sebagai Amarna itu didirikan sekitar tahun 1346 SM sebagai simbol pemisahan radikal dari tradisi keagamaan politeistik sebelumnya. Akhetaten menjadi pusat di mana pemujaan terhadap dewa matahari, Aton, menjadi satu-satunya keyakinan yang dominan di bawah Akhenaten. Namun, hanya sekitar dua dekade setelah wafatnya firaun pendiri, ibu kota tersebut mengalami kemunduran drastis dan ditinggalkan. Selama ini, kemunduran tersebut sering ditafsirkan sebagai dampak dari bencana penyakit menular yang dahsyat, semacam 'Black Death' versi Mesir kuno. Hipotesis yang dominan ini didasarkan pada bukti tidak langsung yang sifatnya spekulatif: adanya penyebutan wabah dalam doa-doa bangsa Het (Hittite) yang konon dibawa oleh tawanan Mesir, serta surat-surat Amarna yang mengindikasikan adanya wabah penyakit di kota-kota tetangga seperti Megiddo dan Byblos. Penting untuk dicatat bahwa narasi historis ini selalu memiliki celah, karena tidak satu pun dari sumber-sumber kontemporer tersebut secara eksplisit menunjuk pada krisis kesehatan yang melumpuhkan di Akhetaten itu sendiri.
Untuk menguji keabsahan hipotesis wabah yang telah lama diyakini tersebut, para peneliti melakukan penilaian bioarkeologi dan arkeologi komprehensif terhadap Amarna dan pemakaman-pemakamannya (nekropolis). Mereka tidak hanya melihat sisa-sisa fisik tetapi juga membandingkan pola praktik penguburan, indikator demografi, dan penanda kesehatan dengan data yang diperoleh dari situs-situs yang diketahui pernah mengalami epidemi besar. Analisis terhadap 889 kuburan, yang merupakan hasil penggalian dan penelitian intensif yang dilakukan antara tahun 2005 hingga 2022, menunjukkan bahwa pola kematian dan harapan hidup yang ditemukan sesuai dengan parameter yang diharapkan untuk kota dengan ukuran dan periode eksistensi yang relatif singkat, yaitu sekitar dua puluh tahun. Dengan kata lain, data ini tidak konsisten dengan gambaran kepunahan mendadak dan massal yang menjadi ciri khas pandemi atau wabah yang menghancurkan populasi secara cepat.
Selain bukti bioarkeologi, jejak-jejak yang tersisa dalam struktur kota itu sendiri mengisyaratkan penarikan diri yang terencana dan tertib, bukan pelarian yang panik akibat ancaman penyakit. Terdapat indikasi bahwa kegiatan pembangunan masih berlanjut dan terlihat adanya penyingkiran harta benda secara teratur bahkan setelah mangkatnya Akhenaten. Ini menunjukkan adanya kemunduran yang bertahap dan terkelola, alih-alih eksodus massal karena ketakutan akan malapetaka yang tak terhindarkan. Kesimpulan baru ini memungkinkan pergeseran fokus perhatian dari bencana eksternal, seperti penyakit, menuju proses internal yang memengaruhi nasib pemukiman unik ini. Perubahan haluan politik dan keagamaan yang drastis yang terjadi setelah kepergian Akhenaten—yaitu kembalinya Mesir ke pemujaan dewa-dewa tradisional—kemungkinan besar memainkan peran yang jauh lebih signifikan dalam nasib Akhetaten dibandingkan dengan dugaan penyakit. Penemuan ini membuka cakrawala baru untuk memahami bagaimana pergeseran internal dalam tatanan sosial dan politik dapat membentuk warisan material dan kehancuran peradaban.
Sumber-sumber
Nauka Telegraf
Novi dokazi sugerišu da kuga možda nije bila uzrok napuštanja Ahetatona
Baca lebih banyak berita tentang topik ini:
Apakah Anda menemukan kesalahan atau ketidakakuratan?
Kami akan mempertimbangkan komentar Anda sesegera mungkin.
