Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa instalasi ladang fotovoltaik skala besar berpotensi memberikan manfaat ekologis tak terduga, khususnya di wilayah kering di seluruh dunia. Temuan ini mulai mengubah pandangan konvensional mengenai dampak pembangunan infrastruktur energi terbarukan terhadap lingkungan lokal.
Sebuah studi mendalam yang berfokus pada Kompleks Surya Gonghe di Qinghai, Tiongkok, salah satu instalasi terbesar di dunia, menggunakan model DPSIR untuk mengevaluasi variabel ekologis. Hasilnya menunjukkan bahwa kualitas tanah dan tingkat keanekaragaman hayati teramati lebih baik di bawah naungan panel surya dibandingkan dengan zona kontrol yang tidak tersentuh di sekitarnya. Para ilmuwan menduga struktur panel berfungsi sebagai 'payung ekologis', yang secara signifikan mengurangi laju penguapan air dari permukaan tanah dan memberikan stabilitas pada lapisan tanah di lingkungan yang sangat kering, sehingga menciptakan habitat mikro yang mendukung kehidupan.
Pengamatan sepanjang tahun di ekosistem Gobi mengonfirmasi adanya pendinginan pada siang hari di bawah susunan panel surya, perubahan pola angin di dekatnya, dan perlindungan termal tanah yang mendukung pertumbuhan vegetasi. Para peneliti di Tiongkok, setelah menilai 57 indikator di Gurun Talatan Gonghe, menemukan bahwa kondisi di dalam area pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dinilai 'umum' dengan indeks 0,4393, kontras dengan kondisi 'buruk' di luar area tersebut (indeks 0,2858–0,2802). Hal ini menggarisbawahi bahwa penempatan yang bijaksana dapat memicu perbaikan kondisi lokal.
Meskipun demikian, perluasan skala besar PLTS di gurun memunculkan pertimbangan mengenai dampak yang lebih luas terhadap iklim regional dan global. Simulasi menunjukkan bahwa jika proyek-proyek ini diterapkan secara masif, seperti menutupi sebagian besar Gurun Sahara, dapat terjadi perubahan signifikan pada albedo daratan, yaitu kemampuan tanah memantulkan energi matahari. Panel yang menyerap energi juga melepaskan panas, yang berpotensi meningkatkan suhu lokal. Para ilmuwan memodelkan bahwa penutupan 20 persen Gurun Sahara dapat menaikkan suhu lokal sebesar 1,5 derajat Celsius, yang berpotensi memengaruhi pola sirkulasi atmosfer dan laut global.
Perubahan iklim regional ini, meskipun bertujuan untuk transisi energi bersih dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil, menuntut pemahaman komprehensif mengenai semua efek timbal baliknya pada sistem planet yang saling terhubung. Peningkatan energi terbarukan adalah langkah penting untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya yang menipis. Namun, implementasinya menuntut ketelitian agar energi yang dihasilkan menjadi sarana untuk menumbuhkan keseimbangan baru, bukan menciptakan disrupsi pada tatanan alam yang sudah ada.
