Pada Februari 2025, Svalbard, sebuah kepulauan di Arktik, mengalami suhu yang jauh lebih tinggi dari rata-rata historis, menyebabkan pencairan salju dan es yang signifikan. Fenomena ini menandakan pergeseran mendalam dalam pola cuaca musim dingin di wilayah tersebut.
Suhu rata-rata udara di Ny-Ålesund, salah satu pemukiman utama di Svalbard, tercatat mencapai -3,3°C, dengan puncak hingga 4,7°C. Selama setengah bulan tersebut, suhu tetap di atas titik beku, yang tidak biasa untuk wilayah yang biasanya sangat dingin. Kondisi ini menyebabkan hujan menggantikan salju, mengubah lanskap Arktik yang biasanya tertutup salju menjadi area dengan genangan air dan tanah terbuka.
Perubahan suhu yang drastis ini berdampak pada ekosistem lokal. Munculnya lapisan es yang keras akibat pembekuan kembali air leleh menghalangi pertukaran gas antara tanah dan atmosfer, yang dapat mempengaruhi mikroba tanah dan meningkatkan emisi metana. Selain itu, penurunan salju mengurangi ketersediaan pakan musim dingin bagi herbivora seperti rusa kutub, yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan hidup mereka.
Fenomena ini juga menimbulkan tantangan bagi penelitian ilmiah di wilayah tersebut. Para peneliti yang biasanya mempersiapkan diri untuk suhu dingin ekstrem dan salju tebal mendapati diri mereka bekerja di bawah hujan dan di atas tanah yang basah, yang mengganggu rencana pengambilan sampel dan menimbulkan pertanyaan tentang keamanan serta kelayakan penelitian musim dingin di bawah kondisi yang cepat berubah ini.
Peningkatan suhu yang cepat di Arktik, termasuk Svalbard, menunjukkan bahwa musim dingin yang hangat bukan lagi pengecualian, melainkan menjadi fitur berulang dari sistem iklim yang telah berubah secara mendalam. Perubahan ini menantang asumsi lama tentang musim dingin Arktik yang selalu beku dan menekankan perlunya tindakan kebijakan yang lebih proaktif untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang semakin cepat.