Analisis DNA kuno dari Alfred Wegener Institute (AWI) telah mengungkap peran penting alga laut dalam dinamika karbon global. Sekitar 14.000 tahun lalu, selama periode Antarctic Cold Reversal (ACR), pertumbuhan masif alga dari genus Phaeocystis di Samudra Selatan secara signifikan mengurangi kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer.
Temuan ini, yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Geoscience, menyoroti bagaimana proses alam di masa lalu dapat memengaruhi iklim global. Periode ACR, yang berlangsung antara 14.700 hingga 13.000 tahun lalu, ditandai dengan pendinginan atmosferik dan laut di belahan bumi selatan. Kondisi iklim spesifik pada masa itu, termasuk lapisan es laut musim dingin yang luas diikuti oleh pencairan musim semi yang kuat, menciptakan lingkungan yang sangat mendukung bagi mekarnya alga Phaeocystis dalam skala besar.
Alga ini, melalui proses fotosintesis, menyerap sejumlah besar CO2 dari atmosfer, sehingga memperlambat peningkatan gas rumah kaca tersebut. Tim AWI mengidentifikasi hubungan ini dengan menganalisis DNA kuno dari sedimen (sedaDNA) yang tersimpan di dasar laut selama ribuan tahun. Peran laut dalam siklus karbon sangatlah krusial. Laut bertindak sebagai penyerap karbon utama di Bumi, baik melalui proses biologis maupun fisik. Fitoplankton dan ganggang laut, seperti Phaeocystis, memainkan peran sentral dalam "pompa biologis", di mana mereka menyerap CO2 atmosfer melalui fotosintesis dan mengkonversinya menjadi materi organik. Sebagian dari materi organik ini kemudian tenggelam ke dasar laut, mengunci karbon untuk jangka waktu yang sangat lama.
Studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa laut menyerap CO2 antropogenik sejak tahun 1970-an, dengan "pompa fisik" yang melibatkan kelarutan CO2 dalam air dingin di lintang tinggi, seperti di Samudra Selatan, berkontribusi pada penyerapan ini. Temuan studi AWI ini memiliki relevansi yang mendalam bagi kondisi iklim saat ini. Penurunan lapisan es laut Antartika yang terus berlanjut akibat perubahan iklim dapat mengubah kondisi yang mendukung mekarnya alga Phaeocystis. Jika kapasitas laut untuk menyerap CO2 berkurang, hal ini dapat mempercepat peningkatan gas rumah kaca di atmosfer, dengan konsekuensi yang luas bagi keseimbangan iklim global.
Perubahan iklim yang cepat di Antartika, seperti yang diperingatkan oleh para ahli, dapat memicu pergeseran lingkungan yang berpotensi tidak dapat diubah, yang dapat menyebabkan kenaikan permukaan laut global secara dramatis dan berdampak katastropik bagi generasi mendatang. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang ekosistem kutub dan perannya dalam siklus karbon menjadi sangat penting untuk upaya mitigasi perubahan iklim.