Dalam beberapa tahun terakhir, bentuk-bentuk bahasa baru telah berkembang di platform media sosial seperti TikTok, memungkinkan pengguna untuk berbagi konten yang jika tidak, akan disensor atau dihapus oleh sistem moderasi otomatis. Praktik ini, yang dikenal sebagai "Algospeak," melibatkan penggunaan kata sandi, emoji, dan ejaan alternatif untuk menghindari algoritma moderasi konten.
"Algospeak" adalah portmanteau dari "algoritma" dan "speak," mengacu pada penggunaan ekspresi berkode untuk mengakali sistem moderasi konten otomatis. Pengguna mengganti huruf tertentu dengan angka atau simbol atau menggunakan sinonim untuk mengaburkan makna aslinya. Misalnya, "sex" menjadi "seggs" atau "lesbian" menjadi "le$bisch".
Praktik ini sangat umum di TikTok, karena platform tersebut memiliki pedoman moderasi yang ketat yang dapat menyebabkan penghapusan atau penurunan peringkat konten yang mengandung kata kunci tertentu. Dengan menggunakan Algospeak, pengguna dapat terus berbicara tentang topik sensitif tanpa konten mereka disensor oleh algoritma platform.
Perkembangan Algospeak merupakan respons terhadap peningkatan otomatisasi moderasi konten di platform media sosial. Meskipun sistem ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghapus konten yang berbahaya atau tidak pantas, mereka juga dapat secara keliru memblokir diskusi yang sah tentang topik penting. Dengan menggunakan Algospeak, pengguna dapat memastikan bahwa konten mereka tetap terlihat dan bahwa mereka dapat berdiskusi tentang topik seperti seksualitas, narkoba, atau kesehatan mental tanpa postingan mereka disensor.
Namun, penting untuk dicatat bahwa penggunaan Algospeak tidak tanpa tantangan. Evolusi algoritma moderasi yang konstan berarti bahwa kata sandi atau simbol tertentu dapat dikenali dan disensor dari waktu ke waktu. Hal ini mengharuskan pengguna untuk terus beradaptasi dan menjadi kreatif agar tetap efektif.
Secara keseluruhan, praktik Algospeak menunjukkan bagaimana bahasa dan komunikasi terus berkembang di ruang digital untuk memenuhi kondisi dan tantangan dunia online yang berubah. Fenomena ini juga relevan dengan lanskap media sosial di Indonesia, di mana pengguna juga mencari cara untuk berekspresi dan berdiskusi tentang berbagai topik, termasuk yang sensitif, sambil tetap mematuhi aturan platform dan norma-norma sosial. Perlu diingat bahwa penggunaan bahasa yang bijak dan menghormati norma-norma sosial tetaplah penting dalam berinteraksi di dunia maya.