Serangan udara Israel baru-baru ini di Lebanon telah meningkatkan ketegangan regional dan menarik perhatian internasional. Pada 15 Juli 2025, serangan Israel di Lembah Bekaa menewaskan 12 orang, termasuk lima pejuang Hizbullah dan tujuh warga sipil Suriah. Serangan ini menargetkan posisi-posisi yang diduga digunakan oleh Hizbullah untuk membangun kembali kemampuan militernya, yang dianggap melanggar perjanjian gencatan senjata yang ada.
Menanggapi serangan tersebut, Presiden Lebanon, Joseph Aoun, menyerukan kepada Hizbullah dan kelompok politik lainnya untuk menyerahkan senjata mereka kepada angkatan bersenjata nasional. Aoun menekankan pentingnya konsentrasi kekuatan militer di bawah kendali negara untuk memastikan stabilitas dan kedaulatan Lebanon.
Namun, pemimpin Hizbullah, Sheikh Naim Qassem, menolak seruan tersebut, menegaskan bahwa senjata kelompok tersebut penting untuk pertahanan Lebanon dan menolak tekanan internasional yang dianggapnya menguntungkan Israel. Qassem menekankan bahwa disarmament hanya akan dipertimbangkan jika Israel terlebih dahulu menghentikan serangan dan menarik pasukannya dari wilayah selatan Lebanon.
Amerika Serikat telah meningkatkan tekanan pada Lebanon untuk membuat komitmen formal melalui keputusan kabinet untuk mendisarm Hizbullah sebagai syarat untuk melanjutkan negosiasi penghentian operasi militer Israel di Lebanon. Tanpa komitmen publik dari pemerintah Lebanon, AS menyatakan tidak akan melanjutkan pembicaraan atau menekan Israel untuk menghentikan serangan udara atau menarik pasukannya dari selatan Lebanon.
Situasi ini menyoroti tantangan dalam mencapai perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut, dengan peran internasional yang signifikan dalam mendorong dialog dan solusi damai antara pihak-pihak yang terlibat.