Kondisi cuaca ekstrem di Assam, India, yang ditandai dengan kekeringan berkepanjangan dan kenaikan suhu, telah menyebabkan penurunan signifikan pada produksi teh. Pada tahun 2024, produksi teh Assam dilaporkan turun 7,8% menjadi kurang dari 1,3 miliar kilogram, sementara harga teh melonjak hampir 20%. Para pekerja perkebunan teh melaporkan penurunan drastis dalam hasil panen harian mereka, dari sekitar 110 kg menjadi hanya 60 kg akibat cuaca panas.
Penurunan hasil ini menambah beban finansial bagi industri teh yang sudah menghadapi margin keuntungan tipis dan utang besar. Hal ini menghambat investasi dalam perawatan perkebunan, penggantian tanaman tua, dan pengembangan varietas teh yang tahan terhadap perubahan iklim. Para ahli mencatat bahwa kualitas teh Assam, yang dulunya tak tertandingi, kini sangat terpengaruh oleh perubahan iklim dan serangan hama.
Situasi semakin rumit dengan peraturan baru Uni Eropa yang diumumkan pada Mei 2025. Peraturan ini akan membatasi penggunaan pestisida tertentu, yang berpotensi mengancam ekspor teh Assam ke pasar Uni Eropa dan Inggris. Secara historis, industri teh Assam dimulai pada abad ke-19, dengan Robert Bruce tercatat menemukan tanaman teh di Assam pada tahun 1823. Assam berkontribusi lebih dari 15% terhadap produksi teh dunia dan lebih dari 50% output teh India.
Menanggapi tantangan ini, para ahli menekankan pentingnya adaptasi dan inovasi. Upaya identifikasi varian tanaman teh yang lebih tahan iklim dan promosi praktik pertanian berkelanjutan menjadi kunci ketahanan produksi. Pemahaman mendalam mengenai regulasi pasar internasional, seperti pembatasan pestisida oleh Uni Eropa, juga krusial untuk kelangsungan ekspor. Indonesia, sebagai produsen teh terbesar kelima, juga menghadapi tantangan serupa terkait regulasi pasar Eropa mengenai residu pestisida.