Pada 31 Juli 2025, Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang memberlakukan tarif baru terhadap sejumlah negara, termasuk Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, efektif mulai 1 Agustus 2025. Tarif ini berkisar antara 15% hingga 50%, dengan tujuan mengurangi defisit perdagangan AS dan mendorong produksi domestik.
Langkah ini telah memicu reaksi internasional yang beragam. Uni Eropa, yang sebelumnya telah menunda penerapan tarif balasan, kini mempertimbangkan tindakan balasan terhadap produk AS. Jepang dan Korea Selatan, sebagai mitra dagang utama, juga mengekspresikan keprihatinan atas dampak kebijakan ini terhadap hubungan perdagangan mereka dengan AS.
Di dalam negeri, tarif baru diperkirakan akan meningkatkan biaya operasional dan harga konsumen, berpotensi menyebabkan inflasi. Beberapa analis memperingatkan bahwa langkah ini dapat memperburuk ketegangan perdagangan global dan mempengaruhi stabilitas ekonomi internasional.
Selain itu, keputusan ini bertepatan dengan tantangan hukum terhadap kebijakan perdagangan AS. Beberapa panel hakim pengadilan banding telah menyatakan skeptisisme terhadap otoritas Presiden Trump dalam menerapkan tarif tersebut tanpa persetujuan Kongres. Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, juga menyatakan keprihatinan atas meningkatnya ketidakpastian ekonomi yang ditimbulkan oleh kebijakan ini.
Situasi ini menyoroti kompleksitas hubungan perdagangan internasional dan pentingnya dialog multilateral untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Proses hukum yang sedang berlangsung dan negosiasi internasional akan membentuk masa depan kebijakan perdagangan AS dan dampaknya terhadap ekonomi global.