Pemerintah Tiongkok dilaporkan sedang menjajaki kemungkinan peluncuran stablecoin yang didukung oleh Yuan. Langkah ini merupakan pergeseran signifikan dari sikap Tiongkok yang sebelumnya ketat terhadap aset kripto, yang berujung pada larangan perdagangan dan penambangan pada tahun 2021. Inisiatif ini dipandang sebagai upaya ambisius untuk meningkatkan penggunaan internasional mata uang Tiongkok dan menantang dominasi dolar Amerika Serikat dalam sistem keuangan global.
Saat ini, dolar AS memegang pangsa pasar dominan dalam pembayaran global sebesar 47,19%, sementara Yuan hanya mencatat 2,88% pada Juni 2025, level terendahnya dalam dua tahun terakhir, menurut data SWIFT. Perbedaan mencolok ini menjadi pendorong utama di balik eksplorasi Tiongkok terhadap stablecoin berbasis Yuan. Dengan memanfaatkan teknologi blockchain, Tiongkok berharap dapat menciptakan saluran pembayaran lintas batas yang lebih efisien, cepat, dan berbiaya rendah.
Hong Kong telah mengambil peran penting dengan mengimplementasikan kerangka regulasi stablecoin yang komprehensif sejak 1 Agustus 2025. Undang-Undang Stablecoin yang baru mewajibkan penerbit untuk memiliki lisensi, cadangan 1:1 terhadap mata uang fiat, serta mematuhi persyaratan anti-pencucian uang (AML) dan pendanaan terorisme (CFT). Kerangka kerja ini memberikan lingkungan yang terkontrol bagi Tiongkok untuk menguji coba dan mengembangkan stablecoin berbasis Yuan sebelum implementasi yang lebih luas, sambil memisahkan aktivitas ini dari kontrol modal ketat di daratan Tiongkok.
Perkembangan ini disambut positif oleh pasar keuangan. Indeks Komposit Shanghai dilaporkan mencapai level tertinggi dalam satu dekade pada 18 Agustus 2025, dengan angka penutupan 3.728,03 poin. Kenaikan ini sebagian besar didorong oleh antusiasme terhadap saham-saham di sektor teknologi finansial (fintech) dan perusahaan yang terkait dengan teknologi stablecoin, seperti Brilliance Technology dan Tansun Technology, yang mengalami lonjakan harga saham. Hal ini mencerminkan optimisme investor terhadap potensi inovasi digital dalam lanskap keuangan Tiongkok.
Namun, tantangan signifikan tetap ada, terutama terkait dengan kontrol modal Tiongkok yang ketat. Pembatasan aliran modal lintas batas ini dapat membatasi sirkulasi global stablecoin Yuan dan efektivitasnya dalam mencapai adopsi internasional yang luas. Di sisi geopolitik, langkah ini dipandang sebagai bagian dari upaya Tiongkok yang lebih luas untuk melakukan de-dolarisasi dan menciptakan alternatif bagi infrastruktur keuangan yang didominasi AS. Diskusi mengenai perluasan penggunaan Yuan dan stablecoin juga diperkirakan akan menjadi agenda dalam KTT Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) mendatang.
Proyeksi pertumbuhan pasar stablecoin global yang diperkirakan mencapai $2 triliun pada tahun 2028 oleh Standard Chartered Bank semakin memperjelas peluang yang ada. Dengan kerangka kerja regulasi yang mulai terbentuk di Hong Kong dan ambisi Tiongkok untuk memperkuat posisi Yuan, inisiatif stablecoin ini dapat menjadi katalisator penting dalam evolusi mata uang digital dan tatanan keuangan internasional di masa depan, menawarkan jalan baru untuk interaksi ekonomi global.