Pada tahun 1972, komedian George Carlin memperkenalkan monolog berjudul "Tujuh Kata yang Tidak Boleh Diucapkan di Televisi," yang menyoroti kontroversi seputar penggunaan kata-kata tertentu di media penyiaran. Monolog ini memicu perdebatan hukum dan budaya, terutama setelah kasus Mahkamah Agung FCC v. Pacifica Foundation pada tahun 1978, yang menegaskan hak Komisi Komunikasi Federal (FCC) untuk mengatur konten yang dianggap tidak senonoh di media penyiaran. Keputusan ini didasarkan pada argumen bahwa media penyiaran memiliki "kehadiran yang unik dan meresap" dalam kehidupan masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, terutama dengan perkembangan internet dan media sosial, cara masyarakat menggunakan bahasa telah mengalami perubahan signifikan. Platform seperti Twitter dan Facebook memungkinkan ekspresi yang lebih terbuka, mengaburkan batasan-batasan yang sebelumnya ada di media tradisional. Hal ini mencerminkan pergeseran dalam cara masyarakat memandang kebebasan berbicara dan ekspresi diri.
Perubahan ini juga menunjukkan bagaimana norma-norma sosial dan batasan bahasa terus berkembang seiring waktu. Apa yang dulunya dianggap tabu atau tidak pantas kini menjadi lebih diterima, mencerminkan dinamika budaya yang terus berubah. Fenomena ini menyoroti pentingnya mempertimbangkan konteks dan evolusi norma-norma sosial dalam diskusi tentang kebebasan berbicara di era digital.